Kisah ini berawal ketika
ku masih duduk dibangku SMA. Hari-hari ku lalui apa adanya, ku biarkan mengalir
begitu saja. Sakit kemudian sembuh kemudian sakit lagi itu sudah tidak asing bagi orang desa seperti ku. Setiap kali sakit paling minum obat dari
PUSKESMAS tapi lebih sering cuma minum obat warung saja. Termasuk orang yang
sukar untuk minum obat boleh dibilang itu aku. Dalam benak ku “Paling juga
sakit ini Cuma sebentar, biasanya Cuma butuh istirahat saja.”
Beranjak kelas XI SMA
mulai ada sesuatu yang aneh dalam tubuh ku. Saat itu aku aku jatuh sakit,
batuk - pilek - demam, namun karena
telah terbiasa akupun tak begitu menghiraukannya. Umi (panggilan yang ku kenal
sejak kecil untuk seorang perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan ku)
selalu memintaku untuk memeriksakan diri ke seorang bidan desa yang tempatnya
tidak begitu jauh dari rumaku. Sekali lagi aku hanya katakan “nggak usah umi,
tata nggak apa-apa kok, minum obat batuk beli di warung juga udah cukup.”
Kataku coba merayu umi. Terkadang umi sedikit kesal karena permintaan untuk aku
berobat tidak ku turuti.
Hari terus bergulir,
batuk yang ku rasakan tak kunjung sembuh entah apa yang terjadi. Akhirnya ku
mau di ajak periksa ke bidan desa dekat rumah. Tak ada kejelasan yang pasti
dari bidan itu, “mungkin karna Cuma bidan yang alat kesehatannya minim, atau
emang semua bidan kaya gitu yah??” benakku bertanya –tanya. Sudah satu bulan
lebih batuk kering ini ku rasakan, sempat beberapa kali ku keluhkan semua ini.
Pasrah mungkin jalan yang ku tempuh saat itu, mungkin jika banyak uang pasti
sudah pergi ke rumah sakit untuk tau kejelasan semua ini.
Memasuki pertengahan
semester di kelas XI tubuh ini terasa semakin ringan, lemah dan lesu. Berat
badan ku kian hari makin berkurang secara cepat. Yang tadinya 45 kg berubah
jadi 36 kg seluruh keluarga ku kaget melihat perubahan ku yang begitu drastis.
Muka yang tampak pucat dan senyum yang mulai menghilang dari wajahku seakan
menghiasi hari hari ku di sekolah saat itu. Secara fisik juga tubuhku tampak
kurus sekali udah kaya tengkorak berjalan.
Umi sering tampak sedih
mukanya, tiap keluar dari kamar pasti matanya tampak memerah dengan sedikit
bekas air mata yang menetes pada pipinya itu. Sempat ku dengar dalam tangisnya
menyebut nama ku. Tak tega hati ini melihat umi setiap usai sholat selalu
menangis. Umi sangat cemas dengan keadaan ku ini, rasanya ingin ku buang jauh
jauh sakit ini agar umi tak melihatku kesakitan tiap malam. Keringat dingin dan
napas yang sesak selalu datang setiap di malam ku.
Berbagai cara dilakukan
umi dengan penuh harap untuk kesembuhan ku. Mulai dari mencarikan ku jamu-jamuan, pengobatan alternatif, kemudian
obat herbal seperti madu yang telah di campur dengan jinten hitam. Umi juga
mencari informasi tentang gejala yang ku rasakan pada tetangga tetangga sekitar
rumah. Begitu besar pengorbanan umi hanya untuk melihat ku tersenyum kembali.
Entah apa yang dapat membalas semua jerih payahnya. Sebagai seorang anak aku
merasa hanya menjadi beban dalam hidupnya saja.
Saat itu ku ingat betul bahwa
bulan itu adalah bulan Februari awal. Umi dan abi (ayah) sepakat untuk
pembawaku ke rumah sakit dengan tujuan semuanya akan kembali seperti semula.
Pagi itu aku dan abi berniat untuk pergi ke rumah sakit untuk memperiksakan
aku. Tapi di tengah jalan kita kebingungan mencari Rumah Sakit khusus
paru-paru. Keluarga ku sudah menduga batuk ku ini pasti ada masalah dengan
paru-paru. Akhirnya kita tanya kepada tukang becak yang saat itu sedang
beristirahat di bawah pohon rindang.
“
Assalamu’alaikum, pak ……! Maaf mau tanya, bapak tahu dimana rumah sakit
paru-paru dekat sini dimana yah ?” tanya kami.
“
di sini nggak ada rumah sakit paru-paru mbak, paling rumah sakit yang agak
bagusan yang itu (sambil nunjuk ke arah utara)” Jelas tukang becak itu.
Dari seberang jalan raya
kami lihat ada sebuah rumah sakit di tengah persawahan. Kami menyambangi rumah
sakit itu. “aku rasa ini rumah sakit elit” dalam benakku terucap kata itu.
Dengan sedikit ragu kami masuk ke dalam rumah sakit itu. Rumah sakit itu begitu
indah dan sangat terasa AC yang begitu dingin menembus kulit yang tinggal kulit
dan tulang ini. Kami hendak bertemu dengan dokter spesialis paru-paru, namun
sayang dokternya sedang tidak ada jadwal praktek. Kemudian kami di arahkan
menuju ruang IGD, di situlah untuk pertama kalinya aku diperiksa oleh dokter
rumah sakit. “HAHAHA… garing memang rasanya.”
Saat itu, dokter yang
memeriksaku langsung menyarankan ku untuk rongent, kaget memang namun saat itu
hanya mengangguk dan menuruti apa yang
beliau ucapkan.
Bersambung dulu yaaa….
Nantikan sambungan dari
cerita ini kawaaaan =)