iklan banner

Selasa, 26 Mei 2015

Aku Dan TB Paru-Paru

Kisah ini berawal ketika ku masih duduk dibangku SMA. Hari-hari ku lalui apa adanya, ku biarkan mengalir begitu saja. Sakit kemudian sembuh kemudian sakit lagi itu sudah tidak asing bagi orang desa seperti ku. Setiap kali sakit paling minum obat dari PUSKESMAS tapi lebih sering cuma minum obat warung saja. Termasuk orang yang sukar untuk minum obat boleh dibilang itu aku. Dalam benak ku “Paling juga sakit ini Cuma sebentar, biasanya Cuma butuh istirahat saja.”
Beranjak kelas XI SMA mulai ada sesuatu yang aneh dalam tubuh ku. Saat itu aku aku jatuh sakit, batuk  - pilek - demam, namun karena telah terbiasa akupun tak begitu menghiraukannya. Umi (panggilan yang ku kenal sejak kecil untuk seorang perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan ku) selalu memintaku untuk memeriksakan diri ke seorang bidan desa yang tempatnya tidak begitu jauh dari rumaku. Sekali lagi aku hanya katakan “nggak usah umi, tata nggak apa-apa kok, minum obat batuk beli di warung juga udah cukup.” Kataku coba merayu umi. Terkadang umi sedikit kesal karena permintaan untuk aku berobat tidak ku turuti.
Hari terus bergulir, batuk yang ku rasakan tak kunjung sembuh entah apa yang terjadi. Akhirnya ku mau di ajak periksa ke bidan desa dekat rumah. Tak ada kejelasan yang pasti dari bidan itu, “mungkin karna Cuma bidan yang alat kesehatannya minim, atau emang semua bidan kaya gitu yah??” benakku bertanya –tanya. Sudah satu bulan lebih batuk kering ini ku rasakan, sempat beberapa kali ku keluhkan semua ini. Pasrah mungkin jalan yang ku tempuh saat itu, mungkin jika banyak uang pasti sudah pergi ke rumah sakit untuk tau kejelasan semua ini.
Memasuki pertengahan semester di kelas XI tubuh ini terasa semakin ringan, lemah dan lesu. Berat badan ku kian hari makin berkurang secara cepat. Yang tadinya 45 kg berubah jadi 36 kg seluruh keluarga ku kaget melihat perubahan ku yang begitu drastis. Muka yang tampak pucat dan senyum yang mulai menghilang dari wajahku seakan menghiasi hari hari ku di sekolah saat itu. Secara fisik juga tubuhku tampak kurus sekali udah kaya tengkorak berjalan.
Umi sering tampak sedih mukanya, tiap keluar dari kamar pasti matanya tampak memerah dengan sedikit bekas air mata yang menetes pada pipinya itu. Sempat ku dengar dalam tangisnya menyebut nama ku. Tak tega hati ini melihat umi setiap usai sholat selalu menangis. Umi sangat cemas dengan keadaan ku ini, rasanya ingin ku buang jauh jauh sakit ini agar umi tak melihatku kesakitan tiap malam. Keringat dingin dan napas yang sesak selalu datang setiap di malam ku.
Berbagai cara dilakukan umi dengan penuh harap untuk kesembuhan ku. Mulai dari mencarikan ku  jamu-jamuan, pengobatan alternatif, kemudian obat herbal seperti madu yang telah di campur dengan jinten hitam. Umi juga mencari informasi tentang gejala yang ku rasakan pada tetangga tetangga sekitar rumah. Begitu besar pengorbanan umi hanya untuk melihat ku tersenyum kembali. Entah apa yang dapat membalas semua jerih payahnya. Sebagai seorang anak aku merasa hanya menjadi beban dalam hidupnya saja.
Saat itu ku ingat betul bahwa bulan itu adalah bulan Februari awal. Umi dan abi (ayah) sepakat untuk pembawaku ke rumah sakit dengan tujuan semuanya akan kembali seperti semula. Pagi itu aku dan abi berniat untuk pergi ke rumah sakit untuk memperiksakan aku. Tapi di tengah jalan kita kebingungan mencari Rumah Sakit khusus paru-paru. Keluarga ku sudah menduga batuk ku ini pasti ada masalah dengan paru-paru. Akhirnya kita tanya kepada tukang becak yang saat itu sedang beristirahat di bawah pohon rindang.

“ Assalamu’alaikum, pak ……! Maaf mau tanya, bapak tahu dimana rumah sakit paru-paru dekat sini dimana yah ?” tanya kami.
“ di sini nggak ada rumah sakit paru-paru mbak, paling rumah sakit yang agak bagusan yang itu (sambil nunjuk ke arah utara)” Jelas tukang becak itu.

Dari seberang jalan raya kami lihat ada sebuah rumah sakit di tengah persawahan. Kami menyambangi rumah sakit itu. “aku rasa ini rumah sakit elit” dalam benakku terucap kata itu. Dengan sedikit ragu kami masuk ke dalam rumah sakit itu. Rumah sakit itu begitu indah dan sangat terasa AC yang begitu dingin menembus kulit yang tinggal kulit dan tulang ini. Kami hendak bertemu dengan dokter spesialis paru-paru, namun sayang dokternya sedang tidak ada jadwal praktek. Kemudian kami di arahkan menuju ruang IGD, di situlah untuk pertama kalinya aku diperiksa oleh dokter rumah sakit. “HAHAHA… garing memang rasanya.”
Saat itu, dokter yang memeriksaku langsung menyarankan ku untuk rongent, kaget memang namun saat itu hanya mengangguk  dan menuruti apa yang beliau ucapkan.

Bersambung dulu yaaa….
Nantikan sambungan dari cerita ini kawaaaan =)


HANTARAN HIDROLIK