iklan banner

Kamis, 16 November 2017

LAPORAN PRAKTIKUM PENGUKURAN ENERGI KINETIK HUJAN DENGAN METODE SPLASH



SEBELUM BACA...

LIKE
COMMENT
SHARE....
ACARA 1
PENGUKURAN ENERGI KINETIK HUJAN DENGAN METODE SPLASH 


I.              PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Apabila suatu benda jatuh dari tempat yang tinggi tentu akan ada energi yang ditimbulkan. Energi ini ditimbulkan karena gerakannya, energi ini disebut energi kinetik. Salah satu peristiwa yang menimbulkan energi kinetik adalah hujan. Energi kinetik yang ditimbulkan oleh hujan dipengaruhi oleh gaya gravitasi. Semakin besar hujan maka energi kinetik yang ditimbulkan akan semakin besar. Erosi di alam akan selalu ada dan tetap terjadi dan bentuk permukaan bumi akan selalu berubah dari waktu ke waktu.
Dampak yang ditimbulkan oleh hujan yang deras dan langsung mengenai tanah adalah erosi. Erosi bersifat merugikan karena mengurangi lapisan tanah. Hal ini juga akan berdampak bagi kelestarian tanah apabila terus menerus terkikis. Oleh karena itu perlu dilakukan perhitungan energi kinetis hujan agar dalam penataan lahan dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh hujan deras. Kemampuan limpasan permukaan dalam mengangkut partikel tanah tergantung dari besarnya energi potensial yang dimiliki oleh aliran permukaan tersebut, semakin besar energi potensial yang dimiliki maka semakin besar pula kemampuan limpasan tersebut dalam mengangkut partikel tanah.

B.            Tujuan
Praktikum pengukuran energi kinetik hujan dengan metode splash cups bertujuan:
1.      Mengetahui besarnya energy kinetis hujan melalui pendekatan Splash cups dengan media pasir.
2.      Mengetahui energi kinetis hujan pada berbagai macam vegetasi.
3.      Melihat hubungan antar energy kinetis hujan dengan jumlah curah hujan bulanan.


II.           TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum Indonesia berada pada zona iklim tropis, dalam hal ini faktor yang paling berpengaruhnya adalah curah hujan dan kelembaban (Yani, 2007). Hujan atau presipitasi adalah air dalam bentuk cair atau padat yang jatuh dari atmosfer sampai ke permukaan bumi. Hujan terjadi apabila butir-butir uap air yang terkumpul dalam bentuk awan bersatu menjadi lebih besar dan berat. Berubahnya air dari bentuk gas saat penguapan menjadi butir-butir air disebut kondensasi. (Widyatmanti,2010)
Menurut Kartasapoetra (1991), hujan berdasarkan proses terjadinya maka ada beberapa jenis:
1.    Hujan konveksi : suatu proses hujan yang berdasarkan atas pengembangan dari udara yang dipanasi
2.    Hujan orografis : terjadi karena ada penghalang seperti gunung
3.    Hujan frontal : banyak terjadi di daerah-daerah lintang pertengahan dimana udara turun terjadi panas yang sifatnya kering (Kartasapoetra, 1991).
Curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi mempunyai daya penghancuran yang tinggi terhadap agregat tanah, dan berubahlah agregat tanah tersebut menjadi partikel-parikel yang mudah terhanyutkan (Christian, 2013). Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat yang terangkut oleh air atau angin ke tempat lain. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air (Arysad, 1989).
Hujan merupakan faktor iklim utama dan paling menentukan terhadap aliran permukaan (air limpasan) dan sedimen yang terjadi. Selama terjadi hujan, jumlah hujan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap jumlah air limpasan, sedangkan distribusi hujan menentukan luasan erosi. Jumlah, intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah. Bila tanah sudah jenuh air, sedangkan hujan masih terus berlangsung maka air hujan akan mengalis sebagai air limpasan. Jumlah dan kecepatan air limpasan sangat menentukan tingkat kerusakan tanah akibat erosi. Fakor hujan dinyatakan sebagai faktor (indeks) erosivitas hujan (Damayanti, 2005).
Indeks daya erosi (erosivitas) curah hujan (R) merupakan rata-rata daya erosi curah hujan. Menurut Suresh (1997) dalam Damayanti (2005) nilai R dinyatakan sebagaimana berikut:
R         = Ek x htotal
Dimana: R       = Erosivitas hujan (Kj/ha)
               Ek     = Energi kinetik (Kj/ha/mm)
               Htotal  = Total kedalam air hujan (mm)
Energi kinetik hujan merupakan faktor utama dalam erosi akibat air hujan. Energi kinetik  hujan adalah nilai energi total yang tterjadi akibat transformasi jatuh butiran hujan menjadi energi mekanik yang memberikan nilai pada suatu intensitas tertentu dan merupakan estimasi dari distribusi ukuran butir hujan untuk intensitas tersebut. Energi kinetik hujan dapat menyebabkan hancurnya agregat permukaan tanah hingga mempermudah pengangkutan bila terjadi aliran permukaan. Hudson (1985), menyatakan bahwa energi kinetik dapat dihitung menggunakan rumus dasar:
EK       =  mv2
Dimana: EK    = Energi kinetik (Joule/ha/mm)
               m      = Massa butiran hujan (kg)
               v       = Kecepatan jatuh butiran hujan (m/detik)
Bertambahnya jumlah butiran hujan akan diikuti dengan peningkatan energi kinetik hujan. Energi kinetik hujan juga dapat dihitung dengan rumus :
EK       = 11,8 + 8,73 log I
Dimana: Ek     = Energi kinetik (Joule/ha/mm)
               I        = Intensitas hujan (mm/jam)
Menurut Wieschmeier (1960) dalam Damayanti (2005) intensitas maksimum 30 menit mempunyai korelasi lebih baik terhadap erosi bila dibandingkan dengan intensitas 5, 15 dan 60 menit. Dari analisa regresi ternyata besarnya erosi pada tanah tanpa tanaman berkorelasi tinggi denganhasil kali dua macam sifat hujan, yaitu total energi kinetik (E) dan intensitas hujan maksimum selama 30 menit (I30). Karena itu, hasil kedua sifat hujan tersebut diambilnya untuk menilai erosivitas hujan, yang kemudian disebut indeks erosivitas hujan, EI30. Nilai EI30 diperoleh dengan cara perhitungan berikut :
E          = 210,2 + 89 log I
EI30      = x 10-2)
Dimana: E = Energi kinetik hujan (ton/ha/mm hujan)
               I = Intensitas hujan (mm/hari)
            I30 = Intensitas hujan maksimum selama 30 menit
Jumlah hujan yang tinggi mungkin tidak menyebankan erosi, jika intensitasnya rendah. Demikian pula suatu hujan yang intensitasnya tinggi, tetapi terjadi dalam waktu singkat, mungkin tidak akan menimbulkan arosi karena tidak cukup air untuk mengangkut tanah, sebaliknya, jika hujan dengan jumlah dan intensitasnya tinggi akan mengakibatkan erosi (Baver, 1961 dalam Damayanti, 2005).
Hudson (1976) dalam penelitiannya di Afrika menemukan bahwa terdapat batas intensitas hujan tertentu yang menimbulkan erosi, yaitu kira-kira 25 mm/jam. Hal ini disebabkan pada intensitas hujan yang kurang dari 25 mm/jam, jumlah tanah terpercik sedikit dan sering sekali tidak menimbulkan air limpasan yang mengangkut partikel-partikel tanah sehingga erosi tidak terjadi. Atas dasar ini, jumlah energi kinetik dari intensitas hujan setiap periode yang nilainya lebih besar dari 25 mm/jam atai 1 inch/jam dapat digunakan sebagai indeks erosivitas hujan (Damayanti, 2005). Menurut Bols (1976), indeks erosivitas hujan dapat dicari dengan rumus :
R         =
Dimana :     R = Indeks erosivitas hujan
n  = Jumlah dari pertambahan hujan
j = Pertambahan hujan tertentu
Ij= Intensitas hujan untuk pertambahan hujan tertentu  (mm/jam)
Tj= Periode waktu dari pertambahan hujan tertentu (jam)
I30= Intensitas hujan maksimumselama 30 menit untuk suatu hujan
(mm/jam)
Pengukuran energi kinetis hujan pada wilayah di bawah vegetasi dapat dilakukan dengan metode Splasgh cup yang dikemukakan oleh Ellinson (1994) dalam Damayanti (2005), yaitu:
S = K V4,33 D4,07 I0,65
Dimana: S =  Jumlah percikan tanah (Splash erosion) dari Splah cup dalam gram selama kejadian hujan dan setara dengan besarnya energi kinetis hujan
                V = Kecepatan tetsan hujan (inch/jam)
                K = Konstanta yang tergantung dari jenis media yang digunakan
                D = Diameter hujan (mm)
                 I = Rata-rata hujan (inch/jam)
Selanjutnya oleh Mihara (1951) dan Free (1960) dalam Damayanti (2005) dibuat hubungan antara erosi percik (Splash erosion) dengan energi kinetik hujan dengan konversi :
Untuk media pasir Splash erosion α (Energi kinetis)0,9
Untuk media tanah Splash erosion α (Energi kinetis)1,46
Pendekatan perhitungan energi kinetis hujan dengan menggunakan Splash cup yang diisi dengan media pasir ternyata besarnya energi kinetis hujan yang dihitung mempunyai korelasi 0,93 dengan besarnya energi kinetik yang digunakan Wieschmeier and Smith (1960).
III.        METODE PAKTIKUM
A.           Alat dan Bahan
Alat yang dipergunakan dalam praktikum pengukuran energi kinetik hujan dengan metode splash cups adalah botol pemancar, splash cups, timbangan analitis, dapur pengering, kantong plastik, kertas label, dan penggaris. Bahan yang digunakan adalah pasir lolos saringan 0,5 mm dan aquades.

B.            Prosedur Kerja
1.      Splash cups diisi dengan pasir yang telah dicuci berdiameter 0,25-0,50 mm hingga penuh. Sambil diketuk-ketuk secara pelan-pelan hingga rata.
2.      Splash cups yang terisi pasir dikeringkan ke dalam dapur pengering sehingga mencapai kering mutlak (pada suhu 110o C selama 20-30 jam).
3.      Splash cups didinginkan ke dalam eksikator sampai menjadi dingin (kurang lebih 15-30 menit) dan setelah dingin ditimbang.
4.      Splash cups tersebut diletakkan pada lokasi yang berbeda yaitu dengan naungan dan tanpa naungan.
5.      Pengamatan dilakukan setiap 24 jam, dicatat besarnya curah hujan dan splash cups ditimbang setelah dilakukan pengeringan dengan dapur pengering.
6.      Pengamatan tersebut dilakukan sebanyak 3 kali.
7.      Hasil pengamatan dicatat pada tabel pengamatan.

IV.        HASIL DAN PEMBAHASAN
A.      Hasil
Tabel 1. Tipe Vegetasi Naungan (N)
No.
Tanggal
Curah Hujan (mm)
Berat Awal (g) A
Berat Akhir (g) B
Energi Kinetis (Joule/dm2)
1
10-12-2015
3,7
267,1
241,5
108,02
2
10-12-2015
3
289,9
275,1
54,21
3
10-12-2015
3
291,3
269
81,68
4
10-12-2015
0
285,2
261,9
13,92
5
10-12-2015
0
294,0
289,1
17,94
6
10-12-2015
0
294,1
284,4
20,51
7
10-12-2015
0
273,3
268,7
19,41
8
10-12-2015
0
296,5
264,2
18,31
9
10-12-2015
0
274,5
264
38,46

Perhitungan:


Tabel 2. Tipe Vegetasi Tanpa Naungan (TN)
No.
Tanggal
Curah Hujan (mm)
Berat Awal (g) A
Berat Akhir (g) B
Energi Kinetis (Joule/dm2)
1
10-12-2015
3,7
262,2
248,6
57,38
2
10-12-2015
3
288,5
275,7
46,88
3
10-12-2015
3
251,1
237,2
54,16
4
10-12-2015
0
261,6
256,5
21,52
5
10-12-2015
0
297,9
295,1
10,26
6
10-12-2015
0
253,6
248,9
17,80
7
10-12-2015
0
241,9
238,5
14,35
8
10-12-2015
0
292,2
261,7
111,72
9
10-12-2015
0
239,9
224,4
58,71

Perhitungan:


Tabel 3. Uji t
T
N
57,38
108,2
13,74
55,52
188,79
3082,47
46,88
54,21
3,24
1,71
10,50
2,92
54,16
81,68
10,52
29,18
110,67
851,47
21,52
13,92
-22,12
-38,58
489,29
1488,42
10,26
17,94
-33,38
-34,56
1114,22
1194,39
17,80
20,51
-25,84
-31,99
667,71
1023,36
14,35
19,41
-29,29
-33,09
857,90
1094,95
111,72
118,31
68,08
65,81
4634,89
4330,96
58,71
38,46
15,07
-14,04
227,10
197,12
∑ = 392,78

472,46
52,50


8301,07
13266,06

Perhitungan:
Uji F (Populasi Identik atau Tidak)
Kesimpulan : Fhitung = 1, 598 dan Ftabel = 3,44
Karena Fhitung < Ftabel , maka Ho diterima dan H1 ditolak.
Artinya, varians kedua populasi identik (Homogen).
Varians Gabungan:


Standar Error:

t Hitung:


t tabel (α = 5% ; df = (9+9) – 2 = 16) = 2,12
Kesimpulan:
t Hitung = 0,512 dan t tabel = 2,12
Karena t Hitung  < t table (0,512 < 2,12), maka Ho diterima dan H1 ditolak.
Artinya, tidak ada perbedaan antara energi kinetik pada naungan dengan energi kinetik tanpa naungan.

Tabel 4. Tipe Vegetasi Naungan Lanjut (N)
No.
Curah Hujan (mm)
X
Energi Kinetik (Joule/dm2)
Y
X2
Y2
X Y
1
3,7
108,02
13,69
11.668,32
399,67
2
3
54,21
9
2.938,72
162,63
3
3
81,68
9
6.671,62
2445,04
4
0
13,92
0
193,77
0
5
0
17,94
0
321,84
0
6
0
20,51
0
420,66
0
7
0
19,41
0
376,75
0
8
0
118,31
0
13.997,26
0
9
0
38,46
0
1.479,17
0
472,64
31,69
38.068,11
807,34

Perhitungan:

Simpulan:
Energi Kinetik hujan dipengaruhi 31,55% oleh curah hujan dan 68,45% dipengaruhi oleh faktor lain.



Tabel 5. Tipe Vegetasi Tanpa Naungan Lanjut (TN)
No.
Curah Hujan (mm)
X
Energi Kinetik (Joule/dm2)
Y
X2
Y2
X Y
1
3,7
57,38
13,69
3.292,46
211,31
2
3
46,88
9
2.197,73
140,64
3
3
54,16
9
2.933,31
162,48
4
0
21,52
0
463,11
0
5
0
10,26
0
105,27
0
6
0
17,80
0
316,84
0
7
0
14,35
0
205,92
0
8
0
111,72
0
12.481,36
0
9
0
58,71
0
3.446,86
0
392,78
31,69
25.442,86
515,43

Perhitungan:

        

Simpulan:
Energi Kinetik hujan dipengaruhi 1,57% oleh curah hujan dan 98,43% dipengaruhi oleh faktor lain.

B.       Pembahasan
Menurut Terperciknya atau hilangnya tanah yang diakibatkan timpaaan-timpaan titik-titik curah hujan hujan terhadap tanah dengan nilai indeks erosivitas tertentu akan merupakan suatu ukuran dari banyaknya tanah yang terlepaskan, besarnya run off (aliran permukaan) serta tanah yang hilang dianggap sebagai patokan untuk erodibilitas tanah. (Kartasapoetra, 1991)
Macam-macam erosi antara lain :
1.    Erosi Alur
Erosi alur terjadi karena air terkonsentrasi dan mengalir pada tempat-tempat tertentu di permukaan tanah sehingga pemindahan tanah lebih banyak terjadi pada tempat tersebut (Arysad, 1989).
2.    Erosi Parit
Erosi parit proses terjadinya sama dengan erosi alur tetapi saluran-saluran yang terbentuk sudah demikian dalamnya sehingga tidak dapat dihilangkan dengan pengolahan tanah biasa (Arysad, 1989).
3.    Erosi Tebing Sungai
Erosi tebing sungai terjadi sebagai akibat pengikisan tebing oleh air yang mengalir dari bagian atas tebing atau oleh terjangan arus air yang kuat pada kelokan sungai (Arysad, 1989).
4.    Longsor
Longsor adalah suatu bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat dalam volume yang besar. Jadi berbeda dengan bentuk-bentuk eorsi lainnya, pada longsor pengangkutan tanah itu terjadi sekaligus (Arysad, 1989).
Jenis – Jenis Erosi Menurut Hardiyatmo dalam Tarigan dan Mardiatno, (2013) jenis erosi dengan sumber berupa air hujan dapat dikelompokkan menjadi 5 macam yaitu:
1.    Erosi percikan (splash erosion)
Jenis erosi ini merupakan hasil dari percikan atau benturan air hujan secara langsung pada partikel tanah dalam keadaan basah. Curah hujan yang jatuh ke permukaan tanah memiliki diameter yang berbeda-beda sehingga memiliki energi tumbukan yang berbeda. Energi tumbukan ini bergantung dari kecepatan jatuhnya tetesan air, diameter butiran tetesan hujan dan intensitas hujan.
2.    Erosi lembar (sheet erosion)
Terjadi karena terlepasnya tanah dari lereng dengan tebal lapisan yang tipis. Erosi ini tidak dapat terlihat oleh mata karena perubahan permukaan tanah yang terjadi hanya dalam bentuk yang kecil. Jenis erosi dapat terlihat dengan jelas pada saat laju erosi semakin bertambah dengan tidak ditemukannya vegetasi di permukaan tanah tersebut.
3.    Erosi alur (rill erosion)
Tipe erosi ini terjadi karena adanya pengikisan tanah oleh aliran air yang membentuk parit atau saluran kecil, parit tersebut mengalami konsentrasi aliran air hujan yang akan mengikis tanah. Alur-alur tersebut akan mengalami pendangkalan pada permukaan tanah dengan arah yang memanjang dari atas ke bawah. Suatu erosi dikelompokkan menjadi erosi alur apabila memiliki lebar kurang dari 50 cm dan memiliki kedalaman kurang dari 30 cm.
4.    Erosi parit (gully erosion)
Jenis erosi ini merupakan keberlanjutan dari erosi alur. Erosi parit ini terjadi apabila alur-alur mengalami pendangkalan yang semakin lebar dan dalam hingga membentuk parit.
5.    Erosi sungai / saluran (stream / channel erosion)
Erosi sungai dapat terjadi karena adanya permukaan tanggul sungai yang terkikis dan gerusan sedimen di sepanjang dasar saluran.
Curah hujan yang menimpa permukaan tanah itu terdiri dari titik-titik air yang dengan sendirinya daya jatuh atau daya timpanya akan berbedabeda, ada yang keras (berat) dan ada pula yang lemah, hal ini tergantung pada :
1.    Kecepatan jatuhnya titik air itu
2.    Diameter titik-titik air, dan
3.    Intensitas atau kehebatan hujan itu
Daya jatuh atau daya timpa yang berat akan memecahkan bongkah-bongkah tanah menjadi butiran-butiran tanah yang kecil-kecil dan ada pula yang halus. Dalam keadaan tekanan yang demikian inilah maka pengikisan dan penghanyutan partikel-partikel tanah akan makin bertambah. Makin besar intensitas hujan makin besar pula partikel tanah yang dilepaskan, dikarenakan daya (energi) kinetiknya makin besar (kuat). Makin besar diameter titik-titik hujan, daya kinetiknya akan makin besar dan tentunya partikel-partikel tanah yang dilepaskan dari agregat-agregatnya akan semakin besar, dengan demikian erosipun akan terjadi (Kartasapoetra, 1991).
Ada beberapa usaha pengendalian erosi, antara lain :
1.    Metode vegetatif (biologi)
Metode vegetatif adalah penggunaan tanaman atau tumbuhan dan sisa-sisanya untuk mengurangi daya rusak hujan yang jatuh, mengurangi jumlah dan daya rusak aliran permukaan dan erosi, bisa dengan penanaman dalam strip dan pemanfaatan sisa-sisa tanaman dan tumbuhan untuk mulsa (Arysad, 1989).
2.    Metode mekanik
Metode mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi, dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah, bisa dengan pengolahan tanah, pengolahan tanah menurut kontur, guludan, guludan bersaluran, parit pengelak, terass, dan balong/waduk (Arysad, 1989).
3.    Metode kimia
Metode kimia dalam konservasi tanah dan air adalah penggunaan preparat kimia sintesis atau alami. Preparat kimia tersebut secara umum dinamai soil conditioner, yang dalam bahasa Indonesia dapat disebut pemantap struktur tanah. (Arysad, 1989)
Energi Kinetik =  m v2 (Esvandiari,2007 )
Energi Kinetik =  – moc2 (Surya, 2009)
Prediksi erosi dari sebidang tanah adalah metode untuk memperkirakan laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang dipergunakan dalam penggunaan lahan dan pengolahan tertentu (Jorma, 2005). Laju erosi yang dinyatakan dalam mm/ tahun atau ton/ha/tahun yang terbesar yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan disebut nilai T (Zalamea, 2013).
Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam penetapan nilai T adalah kedalaman tanah, ciri-ciri fisik dan sifat-sifat tanah lainnya yang mempengaruhi perkembangan akar, pencegahan terbentuknya erosi parit, penyusutan kandungan bahan organik, kehilangan unsur hara, dan masalah-masalah yang ditimbulkan sedimen di lapang (Yao, 2013).
Sifat tanah dan substratum
Nilai T
Ton/acre/tahun
Ton/ha/tahun
1
Tanah dangkal diatas batuan
0,5
1,12
2
Tanah dalam, diatas batuan
1,0
2,24
3
Tanah dengan lapisan bawahnya padat, diasat substrata yang tidak terkonsolidasi
2,0
4,48
4
tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas lambat, di atas bahan yang tida terkonsolidasi
4,0
8,96
5
Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas sedang, di atas bahan yang tidak terkonsolidasi
5,0
11,21
6
Tanah yang lapisan bawahnya permeabel, di atas bahan yang tidak terkonsolidasi
6,0
13,45
(Arysad, 1989)
Hasil praktikum didapatkan bahwa pasir yang di beri naungan maupun non naungan tetap akan mengalami erosi karena hasil T hitungnya lebih kecil dibandingkan dengan T tabel. Hal ini dapat disebabkan oleh Tukidin (2010), tempat yang letaknya sebelah barat akan lebih mudah tererosi karena banyak angin barat yang memiliki curah hujan tinggi.
Berdasarkan hasil praktikum, pengujian dengan uji T diperoleh nilai T hitung yang lebih kecil daripada nilai T tabel untuk kedua perlakuan. Hal ini berarti bahwa kedua perlakuan (naungan dan tanpa naungan) tidak memberikan pengaruh terhadap terjadinya erosi percik. Namun perhatikan bahwa nilai rata-rata energi kinetik untuk perlakuan tanpa naungan lebih besar daripada nilai rata-rata energi kinetik untuk perlakuan dengan naungan. Hal ini berarti bahwa meskipun kedua perlakuan tidak menimbulkan erosi percik tapi besarnya energi kinetiknya berbeda, yang menyebabkan tingkat erosivitas hujan berbeda, hal ini karena pengaruh naungan. Tresnawati (1991) menyatakan bahwa populasi vegetasi yang terdapat pada suatu lahan dapat memperkecil tingkat erosivitas hujan karena hujan yang jatuh tidak langsung mengenai tanah tapi tertahan sementara pada dedaunannya sehingga energi kinetiknya menjadi lebih kecil. Perbedaan energi kinetik juga karena langsung dan tidak langsung air hujan mengenai tanah. Menurut Goro (2008) dengan  pukulan  air  hujan  yang langsung  jatuh  ke  permukaan  tanah, agrergat yang berukuran besar akan hancur menjadi  partikel  yang  lebih  kecil  dan terlempar  besama  percikan  air,  yang  akan terangkut  bersama  aliran  permukaan, hal ini menunjukan tingkat erosi yang lebih besar.


















V.           KESIMPULAN DAN SARAN
A.      Kesimpulan
Berdasarkan praktikum dan hasil pengamatan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1.        Besarnya energi kinetis hujan dapat diketahui melalui pendekatan splash cups dengan media pasir.
2.        Energi kinetis hujan pada vegetasi naungan adalah 38,46 Joule/dm2, dan energi kinetis hujan pada vegetasi tanpa naungan adalah 58,71 Joule/dm2.

B.       Saran
Praktikum harus dikerjakan dengan teliti dalam pengamatan dan perhitungan agar didapatkan hasil yang valid.










DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB. Bogor.
Christian, Geißler. 2013. Kinetic Energy of Throughfall in Subtropical Forests of SE China - Effects of Tree Canopy Structure, Functional Traits, and Biodiversity: e49618. United States. 8 : 2.
Damayanti, L. Sri. 2005. Kajian Erosi Tanah Andosol, Latosol dan Grumusol untuk Berbagai Tingkat Kemiringan dan Intensitas Hujan di Kabupaten Semarang.Tesis. Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Semarang.
Esvandiari. 2007. Kumpulan Rumus Fisika. Puspa Swara. Jakarta.
Jorma, Jussila. 2005. Measurement of kinetic energy dissipation with gelatine fissure formation with special reference to gelatine validation. Amsterdam, United States. 150.1http://search.proquest.com/assets/r20141.2.0-6/core/spacer.gif : 53-62.
Kartasapoetra, G., Sutedjo, Mulyani, Mul. 1997. Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta. Jakarta.
Surya, Yohanes. 2009. Fisika Modern. PT. Kandel. Tangerang.
Tukidin. 2010. Karakter Curah Hujan di Indonesia. FIS UNNES. 7 : 2.
Widyatmanti, Wirastuti., Natalia, Dini. 2010. Geografi . Grafindo Media Pratama. Bandung.
Yani, Ahmad. & Ruhimat, Mamat., 2007. Geografi. Grafindo Media Pratama. Bandung.
Yao, Ha. 2013. Influences of ENSO on Western North Pacific Tropical Cyclone Kinetic Energy and Its Meridional Transport. United States. 26.1http://search.proquest.com/assets/r20141.2.0-6/core/spacer.gif: 322-332.
Zalamea, Paul, Camilo., Sarmiento, Carolina., Stevenson, Pablo, R., Rodríguez, Manuel., Nicolini, Eric., Heuret, Patrick. 2013. Effect of rainfall seasonality on the growth of Cecropia sciadophylla: intra-annual variation in leaf production and node length. Cambridge University Press. 29.4http://search.proquest.com/assets/r20141.2.0-6/core/spacer.gif: 361-365.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HANTARAN HIDROLIK