LIKE
COMMENT
SHARE....
ACARA 1
PENGUKURAN ENERGI
KINETIK HUJAN DENGAN METODE SPLASH
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Apabila
suatu benda jatuh dari tempat yang tinggi tentu akan ada energi yang
ditimbulkan. Energi ini ditimbulkan karena gerakannya, energi ini disebut
energi kinetik. Salah satu peristiwa yang menimbulkan energi kinetik adalah
hujan. Energi kinetik yang ditimbulkan oleh hujan dipengaruhi oleh gaya
gravitasi. Semakin besar hujan maka energi kinetik yang ditimbulkan akan
semakin besar. Erosi di alam akan selalu ada dan tetap terjadi dan bentuk
permukaan bumi akan selalu berubah dari waktu ke waktu.
Dampak
yang ditimbulkan oleh hujan yang deras dan langsung mengenai tanah adalah
erosi. Erosi bersifat merugikan karena mengurangi lapisan tanah. Hal ini juga
akan berdampak bagi kelestarian tanah apabila terus menerus terkikis. Oleh
karena itu perlu dilakukan perhitungan energi kinetis hujan agar dalam penataan
lahan dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh hujan deras. Kemampuan
limpasan permukaan dalam mengangkut partikel tanah tergantung dari besarnya
energi potensial yang dimiliki oleh aliran permukaan tersebut, semakin besar
energi potensial yang dimiliki maka semakin besar pula kemampuan limpasan
tersebut dalam mengangkut partikel tanah.
B.
Tujuan
Praktikum
pengukuran energi kinetik hujan dengan metode splash cups bertujuan:
1. Mengetahui
besarnya energy kinetis hujan melalui pendekatan Splash cups dengan media
pasir.
2. Mengetahui
energi kinetis hujan pada berbagai macam vegetasi.
3. Melihat
hubungan antar energy kinetis hujan dengan jumlah curah hujan bulanan.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
Secara
umum Indonesia berada pada zona iklim tropis, dalam hal ini faktor yang paling
berpengaruhnya adalah curah hujan dan kelembaban (Yani, 2007). Hujan atau
presipitasi adalah air dalam bentuk cair atau padat yang jatuh dari atmosfer
sampai ke permukaan bumi. Hujan terjadi apabila butir-butir uap air yang
terkumpul dalam bentuk awan bersatu menjadi lebih besar dan berat. Berubahnya
air dari bentuk gas saat penguapan menjadi butir-butir air disebut kondensasi.
(Widyatmanti,2010)
Menurut
Kartasapoetra (1991), hujan berdasarkan proses terjadinya maka ada beberapa
jenis:
1. Hujan
konveksi : suatu proses hujan yang berdasarkan atas pengembangan dari udara
yang dipanasi
2. Hujan
orografis : terjadi karena ada penghalang seperti gunung
3. Hujan
frontal : banyak terjadi di daerah-daerah lintang pertengahan dimana udara
turun terjadi panas yang sifatnya kering (Kartasapoetra, 1991).
Curah
hujan dan intensitas hujan yang tinggi mempunyai daya penghancuran yang tinggi
terhadap agregat tanah, dan berubahlah agregat tanah tersebut menjadi
partikel-parikel yang mudah terhanyutkan (Christian, 2013). Erosi adalah
hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat
yang terangkut oleh air atau angin ke tempat lain. Erosi menyebabkan hilangnya
lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta
berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air (Arysad, 1989).
Hujan
merupakan faktor iklim utama dan paling menentukan terhadap aliran permukaan
(air limpasan) dan sedimen yang terjadi. Selama terjadi hujan, jumlah hujan
merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap jumlah air limpasan, sedangkan
distribusi hujan menentukan luasan erosi. Jumlah, intensitas dan distribusi
hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah. Bila tanah sudah jenuh
air, sedangkan hujan masih terus berlangsung maka air hujan akan mengalis
sebagai air limpasan. Jumlah dan kecepatan air limpasan sangat menentukan
tingkat kerusakan tanah akibat erosi. Fakor hujan dinyatakan sebagai faktor
(indeks) erosivitas hujan (Damayanti, 2005).
Indeks
daya erosi (erosivitas) curah hujan (R) merupakan rata-rata daya erosi curah hujan.
Menurut Suresh (1997) dalam Damayanti (2005) nilai R dinyatakan
sebagaimana berikut:
R =
Ek x htotal
Dimana: R = Erosivitas hujan (Kj/ha)
Ek =
Energi kinetik (Kj/ha/mm)
Htotal = Total kedalam air hujan (mm)
Energi
kinetik hujan merupakan faktor utama dalam erosi akibat air hujan. Energi
kinetik hujan adalah nilai energi total
yang tterjadi akibat transformasi jatuh butiran hujan menjadi energi mekanik
yang memberikan nilai pada suatu intensitas tertentu dan merupakan estimasi
dari distribusi ukuran butir hujan untuk intensitas tersebut. Energi kinetik
hujan dapat menyebabkan hancurnya agregat permukaan tanah hingga mempermudah
pengangkutan bila terjadi aliran permukaan. Hudson (1985), menyatakan bahwa
energi kinetik dapat dihitung menggunakan rumus dasar:
EK =
mv2

Dimana: EK = Energi kinetik (Joule/ha/mm)
m =
Massa butiran hujan (kg)
v =
Kecepatan jatuh butiran hujan (m/detik)
Bertambahnya
jumlah butiran hujan akan diikuti dengan peningkatan energi kinetik hujan.
Energi kinetik hujan juga dapat dihitung dengan rumus :
EK =
11,8 + 8,73 log I
Dimana: Ek = Energi kinetik (Joule/ha/mm)
I =
Intensitas hujan (mm/jam)
Menurut
Wieschmeier (1960) dalam Damayanti (2005)
intensitas maksimum 30 menit mempunyai korelasi lebih baik terhadap erosi bila
dibandingkan dengan intensitas 5, 15 dan 60 menit. Dari analisa regresi
ternyata besarnya erosi pada tanah tanpa tanaman berkorelasi tinggi denganhasil
kali dua macam sifat hujan, yaitu total energi kinetik (E) dan intensitas hujan
maksimum selama 30 menit (I30). Karena itu, hasil kedua sifat hujan
tersebut diambilnya untuk menilai erosivitas hujan, yang kemudian disebut
indeks erosivitas hujan, EI30. Nilai EI30 diperoleh
dengan cara perhitungan berikut :
E =
210,2 + 89 log I
EI30 =
x 10-2)

Dimana: E = Energi kinetik hujan
(ton/ha/mm hujan)
I = Intensitas hujan (mm/hari)
I30
= Intensitas hujan maksimum selama 30 menit
Jumlah
hujan yang tinggi mungkin tidak menyebankan erosi, jika intensitasnya rendah.
Demikian pula suatu hujan yang intensitasnya tinggi, tetapi terjadi dalam waktu
singkat, mungkin tidak akan menimbulkan arosi karena tidak cukup air untuk
mengangkut tanah, sebaliknya, jika hujan dengan jumlah dan intensitasnya tinggi
akan mengakibatkan erosi (Baver, 1961 dalam Damayanti,
2005).
Hudson
(1976) dalam penelitiannya di Afrika menemukan bahwa terdapat batas intensitas
hujan tertentu yang menimbulkan erosi, yaitu kira-kira 25 mm/jam. Hal ini
disebabkan pada intensitas hujan yang kurang dari 25 mm/jam, jumlah tanah
terpercik sedikit dan sering sekali tidak menimbulkan air limpasan yang
mengangkut partikel-partikel tanah sehingga erosi tidak terjadi. Atas dasar ini,
jumlah energi kinetik dari intensitas hujan setiap periode yang nilainya lebih
besar dari 25 mm/jam atai 1 inch/jam dapat digunakan sebagai indeks erosivitas
hujan (Damayanti, 2005). Menurut Bols (1976), indeks erosivitas hujan dapat
dicari dengan rumus :
R = 

Dimana
: R = Indeks erosivitas hujan
n = Jumlah dari pertambahan hujan
j
= Pertambahan hujan tertentu
Ij=
Intensitas hujan untuk pertambahan hujan tertentu (mm/jam)
Tj=
Periode waktu dari pertambahan hujan tertentu (jam)
I30=
Intensitas hujan maksimumselama 30 menit untuk suatu hujan
(mm/jam)
Pengukuran
energi kinetis hujan pada wilayah di bawah vegetasi dapat dilakukan dengan
metode Splasgh cup yang dikemukakan oleh Ellinson (1994) dalam Damayanti
(2005), yaitu:
S = K V4,33 D4,07
I0,65
Dimana: S = Jumlah percikan tanah (Splash erosion)
dari Splah cup dalam gram selama kejadian hujan dan setara dengan
besarnya energi kinetis hujan
V = Kecepatan tetsan hujan (inch/jam)
K = Konstanta yang tergantung dari jenis
media yang digunakan
D = Diameter hujan (mm)
I = Rata-rata hujan (inch/jam)
Selanjutnya
oleh Mihara (1951) dan Free (1960) dalam Damayanti (2005) dibuat
hubungan antara erosi percik (Splash erosion) dengan energi kinetik hujan
dengan konversi :
Untuk media pasir Splash erosion α
(Energi kinetis)0,9
Untuk media tanah Splash erosion α
(Energi kinetis)1,46
Pendekatan
perhitungan energi kinetis hujan dengan menggunakan Splash cup yang
diisi dengan media pasir ternyata besarnya energi kinetis hujan yang dihitung
mempunyai korelasi 0,93 dengan besarnya energi kinetik yang digunakan
Wieschmeier and Smith (1960).
III.
METODE
PAKTIKUM
A.
Alat
dan Bahan
Alat
yang dipergunakan dalam praktikum pengukuran energi kinetik hujan dengan metode
splash cups adalah botol pemancar, splash
cups, timbangan analitis, dapur pengering, kantong plastik, kertas label,
dan penggaris. Bahan yang digunakan adalah pasir lolos saringan 0,5 mm dan
aquades.
B.
Prosedur
Kerja
1. Splash
cups diisi dengan pasir yang telah dicuci berdiameter 0,25-0,50 mm hingga
penuh. Sambil diketuk-ketuk secara pelan-pelan hingga rata.
2. Splash
cups yang terisi pasir dikeringkan ke dalam dapur pengering sehingga mencapai
kering mutlak (pada suhu 110o C selama 20-30 jam).
3. Splash
cups didinginkan ke dalam eksikator sampai menjadi dingin (kurang lebih 15-30
menit) dan setelah dingin ditimbang.
4. Splash
cups tersebut diletakkan pada lokasi yang berbeda yaitu dengan naungan dan
tanpa naungan.
5. Pengamatan
dilakukan setiap 24 jam, dicatat besarnya curah hujan dan splash cups ditimbang
setelah dilakukan pengeringan dengan dapur pengering.
6. Pengamatan
tersebut dilakukan sebanyak 3 kali.
7. Hasil
pengamatan dicatat pada tabel pengamatan.
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Tabel 1. Tipe
Vegetasi Naungan (N)
No.
|
Tanggal
|
Curah
Hujan (mm)
|
Berat
Awal (g) A
|
Berat
Akhir (g) B
|
Energi
Kinetis (Joule/dm2)
|
1
|
10-12-2015
|
3,7
|
267,1
|
241,5
|
108,02
|
2
|
10-12-2015
|
3
|
289,9
|
275,1
|
54,21
|
3
|
10-12-2015
|
3
|
291,3
|
269
|
81,68
|
4
|
10-12-2015
|
0
|
285,2
|
261,9
|
13,92
|
5
|
10-12-2015
|
0
|
294,0
|
289,1
|
17,94
|
6
|
10-12-2015
|
0
|
294,1
|
284,4
|
20,51
|
7
|
10-12-2015
|
0
|
273,3
|
268,7
|
19,41
|
8
|
10-12-2015
|
0
|
296,5
|
264,2
|
18,31
|
9
|
10-12-2015
|
0
|
274,5
|
264
|
38,46
|
Perhitungan:
Tabel 2. Tipe
Vegetasi Tanpa Naungan (TN)
No.
|
Tanggal
|
Curah
Hujan (mm)
|
Berat
Awal (g) A
|
Berat
Akhir (g) B
|
Energi
Kinetis (Joule/dm2)
|
1
|
10-12-2015
|
3,7
|
262,2
|
248,6
|
57,38
|
2
|
10-12-2015
|
3
|
288,5
|
275,7
|
46,88
|
3
|
10-12-2015
|
3
|
251,1
|
237,2
|
54,16
|
4
|
10-12-2015
|
0
|
261,6
|
256,5
|
21,52
|
5
|
10-12-2015
|
0
|
297,9
|
295,1
|
10,26
|
6
|
10-12-2015
|
0
|
253,6
|
248,9
|
17,80
|
7
|
10-12-2015
|
0
|
241,9
|
238,5
|
14,35
|
8
|
10-12-2015
|
0
|
292,2
|
261,7
|
111,72
|
9
|
10-12-2015
|
0
|
239,9
|
224,4
|
58,71
|
Perhitungan:
T
|
N
|
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
57,38
|
108,2
|
13,74
|
55,52
|
188,79
|
3082,47
|
46,88
|
54,21
|
3,24
|
1,71
|
10,50
|
2,92
|
54,16
|
81,68
|
10,52
|
29,18
|
110,67
|
851,47
|
21,52
|
13,92
|
-22,12
|
-38,58
|
489,29
|
1488,42
|
10,26
|
17,94
|
-33,38
|
-34,56
|
1114,22
|
1194,39
|
17,80
|
20,51
|
-25,84
|
-31,99
|
667,71
|
1023,36
|
14,35
|
19,41
|
-29,29
|
-33,09
|
857,90
|
1094,95
|
111,72
|
118,31
|
68,08
|
65,81
|
4634,89
|
4330,96
|
58,71
|
38,46
|
15,07
|
-14,04
|
227,10
|
197,12
|
∑ = 392,78
![]() |
472,46
52,50
|
8301,07
|
13266,06
|
Perhitungan:
Uji F (Populasi
Identik atau Tidak)




Kesimpulan
: Fhitung = 1, 598 dan Ftabel = 3,44
Karena
Fhitung < Ftabel , maka Ho diterima dan H1
ditolak.
Artinya,
varians kedua populasi identik (Homogen).
Varians Gabungan:
Standar Error:
t Hitung:
t tabel (α
= 5% ; df = (9+9) – 2 = 16) = 2,12
Kesimpulan:
t Hitung
= 0,512 dan t tabel = 2,12
Karena t Hitung
< t table (0,512
< 2,12), maka Ho diterima dan H1 ditolak.
Artinya, tidak ada
perbedaan antara energi kinetik pada naungan dengan energi kinetik tanpa
naungan.
Tabel 4. Tipe Vegetasi Naungan Lanjut (N)
No.
|
Curah Hujan (mm)
X
|
Energi Kinetik (Joule/dm2)
Y
|
X2
|
Y2
|
X Y
|
1
|
3,7
|
108,02
|
13,69
|
11.668,32
|
399,67
|
2
|
3
|
54,21
|
9
|
2.938,72
|
162,63
|
3
|
3
|
81,68
|
9
|
6.671,62
|
2445,04
|
4
|
0
|
13,92
|
0
|
193,77
|
0
|
5
|
0
|
17,94
|
0
|
321,84
|
0
|
6
|
0
|
20,51
|
0
|
420,66
|
0
|
7
|
0
|
19,41
|
0
|
376,75
|
0
|
8
|
0
|
118,31
|
0
|
13.997,26
|
0
|
9
|
0
|
38,46
|
0
|
1.479,17
|
0
|
∑
|
![]() |
472,64
|
31,69
|
38.068,11
|
807,34
|
Perhitungan:
Simpulan:
Energi Kinetik hujan dipengaruhi 31,55% oleh curah hujan dan 68,45%
dipengaruhi oleh faktor lain.
Tabel 5. Tipe Vegetasi Tanpa Naungan Lanjut (TN)
No.
|
Curah Hujan (mm)
X
|
Energi Kinetik
(Joule/dm2)
Y
|
X2
|
Y2
|
X Y
|
1
|
3,7
|
57,38
|
13,69
|
3.292,46
|
211,31
|
2
|
3
|
46,88
|
9
|
2.197,73
|
140,64
|
3
|
3
|
54,16
|
9
|
2.933,31
|
162,48
|
4
|
0
|
21,52
|
0
|
463,11
|
0
|
5
|
0
|
10,26
|
0
|
105,27
|
0
|
6
|
0
|
17,80
|
0
|
316,84
|
0
|
7
|
0
|
14,35
|
0
|
205,92
|
0
|
8
|
0
|
111,72
|
0
|
12.481,36
|
0
|
9
|
0
|
58,71
|
0
|
3.446,86
|
0
|
∑
|
![]() |
392,78
|
31,69
|
25.442,86
|
515,43
|
Perhitungan:
Simpulan:
Energi Kinetik hujan dipengaruhi 1,57% oleh curah hujan dan 98,43%
dipengaruhi oleh faktor lain.
B.
Pembahasan
Menurut
Terperciknya atau hilangnya tanah yang diakibatkan timpaaan-timpaan titik-titik
curah hujan hujan terhadap tanah dengan nilai indeks erosivitas tertentu akan
merupakan suatu ukuran dari banyaknya tanah yang terlepaskan, besarnya run off
(aliran permukaan) serta tanah yang hilang dianggap sebagai patokan untuk
erodibilitas tanah. (Kartasapoetra, 1991)
Macam-macam
erosi antara lain :
1. Erosi
Alur
Erosi alur terjadi karena
air terkonsentrasi dan mengalir pada tempat-tempat tertentu di permukaan tanah
sehingga pemindahan tanah lebih banyak terjadi pada tempat tersebut (Arysad,
1989).
2. Erosi
Parit
Erosi parit proses
terjadinya sama dengan erosi alur tetapi saluran-saluran yang terbentuk sudah
demikian dalamnya sehingga tidak dapat dihilangkan dengan pengolahan tanah
biasa (Arysad, 1989).
3. Erosi
Tebing Sungai
Erosi tebing sungai
terjadi sebagai akibat pengikisan tebing oleh air yang mengalir dari bagian
atas tebing atau oleh terjangan arus air yang kuat pada kelokan sungai (Arysad,
1989).
4. Longsor
Longsor adalah suatu
bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat
dalam volume yang besar. Jadi berbeda dengan bentuk-bentuk eorsi lainnya, pada
longsor pengangkutan tanah itu terjadi sekaligus (Arysad, 1989).
Jenis
– Jenis Erosi Menurut Hardiyatmo dalam Tarigan dan Mardiatno, (2013) jenis
erosi dengan sumber berupa air hujan dapat dikelompokkan menjadi 5 macam yaitu:
1. Erosi
percikan (splash erosion)
Jenis erosi ini merupakan
hasil dari percikan atau benturan air hujan secara langsung pada partikel tanah
dalam keadaan basah. Curah hujan yang jatuh ke permukaan tanah memiliki
diameter yang berbeda-beda sehingga memiliki energi tumbukan yang berbeda.
Energi tumbukan ini bergantung dari kecepatan jatuhnya tetesan air, diameter
butiran tetesan hujan dan intensitas hujan.
2. Erosi
lembar (sheet erosion)
Terjadi karena
terlepasnya tanah dari lereng dengan tebal lapisan yang tipis. Erosi ini tidak
dapat terlihat oleh mata karena perubahan permukaan tanah yang terjadi hanya
dalam bentuk yang kecil. Jenis erosi dapat terlihat dengan jelas pada saat laju
erosi semakin bertambah dengan tidak ditemukannya vegetasi di permukaan tanah
tersebut.
3. Erosi
alur (rill erosion)
Tipe erosi ini terjadi
karena adanya pengikisan tanah oleh aliran air yang membentuk parit atau
saluran kecil, parit tersebut mengalami konsentrasi aliran air hujan yang akan
mengikis tanah. Alur-alur tersebut akan mengalami pendangkalan pada permukaan
tanah dengan arah yang memanjang dari atas ke bawah. Suatu erosi dikelompokkan
menjadi erosi alur apabila memiliki lebar kurang dari 50 cm dan memiliki
kedalaman kurang dari 30 cm.
4. Erosi
parit (gully erosion)
Jenis erosi ini merupakan
keberlanjutan dari erosi alur. Erosi parit ini terjadi apabila alur-alur
mengalami pendangkalan yang semakin lebar dan dalam hingga membentuk parit.
5. Erosi
sungai / saluran (stream / channel erosion)
Erosi sungai dapat
terjadi karena adanya permukaan tanggul sungai yang terkikis dan gerusan
sedimen di sepanjang dasar saluran.
Curah
hujan yang menimpa permukaan tanah itu terdiri dari titik-titik air yang dengan
sendirinya daya jatuh atau daya timpanya akan berbedabeda, ada yang keras
(berat) dan ada pula yang lemah, hal ini tergantung pada :
1. Kecepatan
jatuhnya titik air itu
2. Diameter
titik-titik air, dan
3. Intensitas
atau kehebatan hujan itu
Daya
jatuh atau daya timpa yang berat akan memecahkan bongkah-bongkah tanah menjadi
butiran-butiran tanah yang kecil-kecil dan ada pula yang halus. Dalam keadaan
tekanan yang demikian inilah maka pengikisan dan penghanyutan partikel-partikel
tanah akan makin bertambah. Makin besar intensitas hujan makin besar pula
partikel tanah yang dilepaskan, dikarenakan daya (energi) kinetiknya makin
besar (kuat). Makin besar diameter titik-titik hujan, daya kinetiknya akan
makin besar dan tentunya partikel-partikel tanah yang dilepaskan dari
agregat-agregatnya akan semakin besar, dengan demikian erosipun akan terjadi
(Kartasapoetra, 1991).
Ada beberapa usaha pengendalian
erosi, antara lain :
1. Metode
vegetatif (biologi)
Metode vegetatif adalah
penggunaan tanaman atau tumbuhan dan sisa-sisanya untuk mengurangi daya rusak
hujan yang jatuh, mengurangi jumlah dan daya rusak aliran permukaan dan erosi,
bisa dengan penanaman dalam strip dan pemanfaatan sisa-sisa tanaman dan tumbuhan
untuk mulsa (Arysad, 1989).
2. Metode
mekanik
Metode mekanik adalah
semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan
bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi, dan meningkatkan
kemampuan penggunaan tanah, bisa dengan pengolahan tanah, pengolahan tanah
menurut kontur, guludan, guludan bersaluran, parit pengelak, terass, dan
balong/waduk (Arysad, 1989).
3. Metode
kimia
Metode kimia dalam
konservasi tanah dan air adalah penggunaan preparat kimia sintesis atau alami.
Preparat kimia tersebut secara umum dinamai soil conditioner, yang dalam bahasa
Indonesia dapat disebut pemantap struktur tanah. (Arysad, 1989)
Energi Kinetik =
m v2 (Esvandiari,2007 )

Energi Kinetik =
– moc2
(Surya, 2009)

Prediksi
erosi dari sebidang tanah adalah metode untuk memperkirakan laju erosi yang
akan terjadi dari tanah yang dipergunakan dalam penggunaan lahan dan pengolahan
tertentu (Jorma, 2005). Laju erosi yang dinyatakan dalam mm/ tahun atau
ton/ha/tahun yang terbesar yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan disebut
nilai T (Zalamea, 2013).
Faktor-faktor yang
dipertimbangkan dalam penetapan nilai T adalah kedalaman tanah, ciri-ciri fisik
dan sifat-sifat tanah lainnya yang mempengaruhi perkembangan akar, pencegahan
terbentuknya erosi parit, penyusutan kandungan bahan organik, kehilangan unsur hara,
dan masalah-masalah yang ditimbulkan sedimen di lapang (Yao, 2013).
Sifat
tanah dan substratum
|
Nilai
T
|
||
Ton/acre/tahun
|
Ton/ha/tahun
|
||
1
|
Tanah
dangkal diatas batuan
|
0,5
|
1,12
|
2
|
Tanah
dalam, diatas batuan
|
1,0
|
2,24
|
3
|
Tanah
dengan lapisan bawahnya padat, diasat substrata yang tidak terkonsolidasi
|
2,0
|
4,48
|
4
|
tanah
dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas lambat, di atas bahan yang tida
terkonsolidasi
|
4,0
|
8,96
|
5
|
Tanah
dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas sedang, di atas bahan yang tidak terkonsolidasi
|
5,0
|
11,21
|
6
|
Tanah
yang lapisan bawahnya permeabel, di atas bahan yang tidak terkonsolidasi
|
6,0
|
13,45
|
(Arysad, 1989)
Hasil
praktikum didapatkan bahwa pasir yang di beri naungan maupun non naungan tetap
akan mengalami erosi karena hasil T hitungnya lebih kecil dibandingkan dengan T
tabel. Hal ini dapat disebabkan oleh Tukidin (2010), tempat yang letaknya
sebelah barat akan lebih mudah tererosi karena banyak angin barat yang memiliki
curah hujan tinggi.
Berdasarkan
hasil praktikum, pengujian dengan uji T diperoleh nilai T hitung yang lebih
kecil daripada nilai T tabel untuk kedua perlakuan. Hal ini berarti bahwa kedua
perlakuan (naungan dan tanpa naungan) tidak memberikan pengaruh terhadap
terjadinya erosi percik. Namun perhatikan bahwa nilai rata-rata energi kinetik
untuk perlakuan tanpa naungan lebih besar daripada nilai rata-rata energi
kinetik untuk perlakuan dengan naungan. Hal ini berarti bahwa meskipun kedua
perlakuan tidak menimbulkan erosi percik tapi besarnya energi kinetiknya
berbeda, yang menyebabkan tingkat erosivitas hujan berbeda, hal ini karena
pengaruh naungan. Tresnawati (1991) menyatakan bahwa populasi vegetasi yang
terdapat pada suatu lahan dapat memperkecil tingkat erosivitas hujan karena hujan
yang jatuh tidak langsung mengenai tanah tapi tertahan sementara pada
dedaunannya sehingga energi kinetiknya menjadi lebih kecil. Perbedaan energi
kinetik juga karena langsung dan tidak langsung air hujan mengenai tanah.
Menurut Goro (2008) dengan pukulan air
hujan yang langsung jatuh
ke permukaan tanah, agrergat yang berukuran besar akan
hancur menjadi partikel yang
lebih kecil dan terlempar
besama percikan air,
yang akan terangkut bersama
aliran permukaan, hal ini
menunjukan tingkat erosi yang lebih besar.
V.
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
praktikum dan hasil pengamatan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1.
Besarnya energi kinetis
hujan dapat diketahui melalui pendekatan splash
cups dengan media pasir.
2.
Energi kinetis hujan pada
vegetasi naungan adalah 38,46 Joule/dm2, dan energi kinetis hujan
pada vegetasi tanpa naungan adalah 58,71 Joule/dm2.
B.
Saran
Praktikum
harus dikerjakan dengan teliti dalam pengamatan dan perhitungan agar didapatkan
hasil yang valid.
DAFTAR
PUSTAKA
Arsyad,
Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air.
Penerbit IPB. Bogor.
Christian,
Geißler. 2013. Kinetic
Energy of Throughfall in
Subtropical Forests of SE China -
Effects of Tree
Canopy Structure, Functional Traits, and Biodiversity: e49618. United
States. 8 : 2.
Damayanti,
L. Sri. 2005. Kajian Erosi Tanah
Andosol, Latosol dan Grumusol untuk Berbagai Tingkat Kemiringan dan Intensitas
Hujan di Kabupaten Semarang.Tesis. Program Pascasarjana,
Universitas Diponegoro. Semarang.
Esvandiari.
2007. Kumpulan Rumus Fisika. Puspa
Swara. Jakarta.
Jorma,
Jussila. 2005. Measurement of kinetic
energy dissipation with gelatine fissure formation with special reference to
gelatine validation. Amsterdam, United States. 150.1
: 53-62.

Kartasapoetra,
G., Sutedjo, Mulyani, Mul. 1997. Konservasi
Tanah dan Air. Rineka Cipta. Jakarta.
Surya,
Yohanes. 2009. Fisika Modern. PT.
Kandel. Tangerang.
Tukidin.
2010. Karakter Curah Hujan di Indonesia. FIS
UNNES. 7 : 2.
Widyatmanti,
Wirastuti., Natalia, Dini. 2010. Geografi
. Grafindo Media Pratama. Bandung.
Yani,
Ahmad. & Ruhimat, Mamat., 2007. Geografi.
Grafindo Media Pratama. Bandung.
Yao,
Ha. 2013. Influences of ENSO on Western
North Pacific Tropical Cyclone Kinetic Energy and Its Meridional Transport. United
States. 26.1
: 322-332.

Zalamea, Paul,
Camilo., Sarmiento, Carolina., Stevenson, Pablo, R., Rodríguez, Manuel., Nicolini, Eric., Heuret, Patrick. 2013.
Effect of rainfall seasonality on the growth of Cecropia
sciadophylla: intra-annual variation in leaf production and node length.
Cambridge University Press. 29.4
:
361-365.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar