iklan banner

Kamis, 30 Maret 2017

Teknologi Pengeringan Benih



TUGAS TERSTRUKTUR
REKAYASA TEKNOLOGI PRODUKSI TANAMAN
“Teknologi Pengeringan Benih”

Oleh:
Qonita
A1L113059





KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2016


PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Benih merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting bagi keberadaan tanaman. Benih adalah bagian (organ hidup) tanaman yang digunakan untuk menumbuhkan tanaman. Benih dapat berperan dalam menentukan dalam keberhasilan suatu pertanaman. Penggunaan benih unggul bermutu merupakan salah satu syarat utama untuk meningkatkan produksi tanaman termasuk tanaman jambu mete. Penggunaan benih asalan akan menimbulkan berbagai kerugian diantaranya tenaga dan biaya dalam pelaksanaannya.
Untuk mengatasi permasalahan terjadinya kemunduran mutu benih baik yang diakibatkan oleh faktor penyimpanan maupun diakibatkan oleh faktor kesalahan dalam penanganan benih, dapat dilakukan dengan melakukan teknik “invigorasi”. Invigorasi adalah suatu perlakuan fisik atau kimia untuk meningkatkan atau memperbaiki vigor benih yang telah mengalami kemunduran mutu (Basu dan Rudrapal, 1982).
Pentingnya mutu dapat dijelaskan dari dua sudut yaitu dari sudut manajemen operasional dan manajemen pemasaran. Dilihat dari sudut manajemen operasional, mutu produk merupakan salah satu kebijaksanaan penting dalam meningkatkan daya saing produk yang harus memberikan kepuasan kepada konsumen melebihi atau paling tidak sama dengan mutu produk dari pesaing. Dilihat dari sudut manajemen pemasaran, mutu produk merupakan salah satu unsur utama dalam bauran pemasaran yang dapat meningkatkan volume penjualan dan memperluas pangsa pasar perusahaan (Nasution, 2010).
B.  Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui teknologi dalam pengeringan benih.


















II. PEMBAHASAN
Benih adalah beginning of life atau awal kehidupan dari suatu budidaya tanaman. Artinya bahwa dengan benih,maka suatu tanaman dapat meneruskan kehidupan dan menurunkan sifat-sifat yang dimilikinya. Di dalam benih terdapat kandungan materi genetik dan kandungan kimiawi yang merupakan komponen kritis dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Saragih, 2013). Benih terdiri dari embrio atau tanaman mini, endosperma dan cadangan makanan lainnya serta pelindung yang terdiri dari kulit benih, dan pada benihbenih tertentu terdapat juga struktur tambahan. Pada rerumputan, benih atau buahnya disebut grain atau kariopsis, pada famili buck wheat dan bunga matahari disebut achene, dan pada famili mentol disebut nutlet. Beberapa jenis benih memiliki struktur tambahan, seperti gluma, braktea, spina dan rambut yan membantu melindungi benih dari pelukaan burung atau tikus (Justice et al., 2002).
Kualitas benih yang terbaik tercapai pada saat benih masak fisiologis karena pada saat benih masuk fisiologis maka berat kering benih, viabilitas dan vigornya tertinggi. Perlu dicatat bahwa viabilitas dan vigor tertinggi yang dimaksud tidak harus 100%. Setelah masak fisiologis kondisi benih cenderung menurun sampai pada akhirnya benih tersebut kehilangan daya viabilitas dan vigornya sehingga benih tersebut mati. Proses penurunan kondisi benih setelah masak fisiologis itulah yang disebut sebagai peristiwa deteriorasi atau benih mengalami proses menua. Proses penurunan kondisi benih tidak dapat dihentikan tetapi dapat dihambat. Kemunduran benih dapat didefinisikan jatuhnya mutu benih yang menimbulkan perubahan secara menyeluruh di dalam benih dan berakibat pada berkurangnya viabilitas benih. Faktor-faktor yang mempengaruhi benih itu sendiri antara lain adalah faktor internal benih mencakup kondisi fisik dan keadaan fisiologinya, kelembaban nisbi dan temperature, kadar air benih, suhu, genetik, mikroflora, kerusakan mekanik (akibat panen dan pengolahan), dan tingkat kemasakan benih (Mungnisjah,2006).
Faktor yang mempengaruhi viabilitas dan vigoritas benih antara lain sebagai berikut:
1.        Faktor Genetik
Faktor yang mempengaruhi mutu benih antara lain faktor genetik, lingkungan dan status benih (kondisi fisik dan fisiologibenih). Genetik merupakan faktor bawaan yang berkaitan dengan komposisi genetika benih. Setiap varietas memiliki identitas genetika yang berbeda. Sebagai contoh, mutu daya simpan benih kedelai lebih rendah dibandingkan dengan mutu daya simpan benih jagung, hal ini diakibatkan perbedaan gen yang ada di dalam benih.Benih hibrida lebih vigor dibandingkan dengan benih non hibrida. Contoh : Benih jagung hibrida menghasilkan tanaman yang lebihvigor dibandingkan jagung non hibrida
2.        Kondisi Lingkungan Tumbuh dan ruang simpan
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap mutu benih berkaitan dengan kondisi dan perlakuan selama prapanen, pascapanen, maupun saat pemasaran benih. Lingkungan tumbuh selama periode pembentukan dan perkembangan benih berpengaruh terhadap kualitas benih yang dihasilkan. Ruang penyimpanan yang dilengkapi dengan pendingin dan pengatur RH mampu mempertahankan kualitas benih. Suhu yang terlalu dingin menyebabkan chilling injury.
3.        Kematangan Benih
Faktor kondisi fisik dan fisiologi benih berkaitan dengan performa benih seperti tingkat kemasakan, tingkat kerusakan mekanis, tingkat keusangan (hubungan antara vigor awal dan lamanya disimpan), tingkat kesehatan, ukuran dan berat jenis, komposisi kimia, struktur, tingkat kadar air dan dormansi benih (Wirawan dan Sri, 2002). Kualitas maksimal suatu benih tercapai saat mencapai Matang Fisiologis. Pada saat Matang Fisiologis akumulasi bahan kering (dry matter) dan bahan kimia yang terlibat dalam perkecambahan sudah mencapai maksimal. Panen sebelum atau sesudah matang fisologis kualitasnya lebih rendah dibandingkan saat matang fisiologis.
4.        Kadar air benih
Kadar air merupakan faktor yang paling mempengaruhi kemunduran benih. Kemunduran benih meningkat sejalan dengan meningkatnya kadar air benih. Kadar air benih akan berpengaruh terhadap proses aktivasi enzim. Kadar air yang rendah dapat meminimalisir proses aktibvasi enzim (perombakan cadanganmakanan). Bagi benih ortodok kadar air terlalu rendah menyebabkan cracking (retak) sedangkan bagi benih rekalsitran kadar air terlalu rendah menyebabkan gangguan fisiologis.Kadar air optimum setiap jenis benih berbeda-beda
5.        Proses Pengolahan Benih
6.        Pengolahan yang baik tidak menyebabkan kerusakan pada benih. Pengolahan yang tidak baik menyebabkan benih memar, cracking atau pecah, case hardening (pengerasan kulit benih). Perontokan dan pengeringan merupakan tahap pengolahan yang paling berpengaruh terhadap kualitas benih
7.        Jenis Kemasan
Jenis kemasan yang baik dapat mempertahankan kadar air dan vigor benih, selain itu kemasan yang baik juga dapat menghindari benih dari benturan, serangan hama dan penyakit. Contoh kemasan yang baik antara lain : kaleng, aluminium foil,plastik tebal, kertas semen dilapisi aspal dll.
Kemunduran benih dapat didefinisikan sebagai jatuhnya mutu benih yang menimbulkan perubahan secara menyeluruh di dalam benih dan berakibat pada berkurangnya viabilitas benih. Faktor-faktor yang mempengaruhi benih itu sendiri antara lain adalah faktor internal benih mencakup kondisi fisik dan keadaan fisiologinya, kelembapan nisbi dan temperatur, kadar air benih, suhu, genetik, mikroflora, kerusakan mekanik (akibat panen dan pengolahan), dan tingkat kemasakan benih. Kemunduran benih yang menyebabkan menurunnya vigor dan viabilitas benih merupakan awal kegagalan dalam kegiatan pertanian sehingga harus dicegah agar tidak mempengaruhi produktivitas tanaman. Vigor benih adalah kemampuan benih menumbuhkan tanaman normal pada kondisi suboptimum di lapang, atau sesudah disimpan dalam kondisi simpan yang suboptimum dan ditanam dalam kondisi lapang yang optimum. Viabilitas benih merupakan daya hidup benih yang dapat ditunjukkan dalam fenomena pertumbuhannya, gejala metabolisme, kinerja kromosom atau garis viabilitas, sedangkan viabilitas potensial adalah parameter viabilitas dari suatu lot benih yang menunjukkan kemampuan benih menumbuhkan tanaman normal yang berproduksi normal pada kondisi lapang yang optitum.
Kemunduran benih (Deteriorasi) merupakan proses penurunan mutu secara berangsur-angsur dan kumulatif serta tidak dapat balik (irreversible) akibat perubahan fisisologis yang disebabkan oleh faktor dalam. Kemunduran benih beragam, baik antarjenis, antarvarietas, antarlot, bahkan antarindividu dalam suatu lot benih. Kemunduran benih dapat menimbulkan perubahan secara menyeluruh di dalam benih dan berakibat pada berkurangnya viabilitas benih (kemampuan benih berkecambah pada keadaan yang optimum) atau penurunan daya kecambah. Proses penuaan atau mundurnya vigor secara fisiologis ditandai dengan penurunan daya berkecambah, peningkatan jumlah kecambah abnormal, penurunan pemunculan kecambah di lapangan (field emergence), terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan tanaman, meningkatnya kepekaan terhadap lingkungan yang ekstrim yang akhirnya dapat menurunkan produksi tanaman (Copeland dan Donald, 1985). Kemunduran benih adalah mundurnya mutu fisiologis benih yang dapat menimbulkan perubahan menyeluruh di dalam benih, baik fisik, fisiologi maupun kimiawi yang mengakibatkan menurunnya viabilitas benih (Sadjad, 1994). Laju kemunduran benih adalah berapa besarnya penyimpangan terhadap keadaan optimum untuk mencapai maksimum. Laju kemunduran benih dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
a.         Faktor genetis benih
Kemunduran benih karena sifat genetis biasa disebut proses deteriorasi yang kronologis. Artinya, meskipun benih ditangani dengan baik dan faktor lingkungannya pun mendukung namun proses ini akan tetap berlangsung.
b.        Faktor lingkungan
Proses ini biasa disebut proses deteriorasi fisiologis. Proses ini terjadi karena adanya faktor lingkungan yang tidak sesuai dengan persyaratan penyimpanan benih, atau terjadi proses penyimpangan selama pembentukan dan prosesing benih.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemunduran Benih Ditempat Penyimpanan
a.         Kadar air benih sebelum disimpan
Kadar air benih yang tinggi dapat meningkatkan laju kemunduran benih dalam tempat penyimpanan. Laju kemunduran benih dapat diperlambat, dengan cara kadar air benih harus dikurangi sampai kadar air benih optimum. Kadar air benih optimal, yaitu kadar air tertentu dimana benih tersebut disimpan lama tanpa mengalami penurunan mutu benih. Kadar air optimum dalam penyimpanan bagi sebagian besar benih adalah antara 30-40% (untuk benih kakao), 10-12% untuk benih kacang-kacangan (kadar air untuk benih kedelai, harus dibawah 11% , kadar air untuk kacang panjang 12%), kadar air untuk benih serealia (padi, gandum, jagung dll), sebaiknya dibawah 14%.
b.        Suhu tempat penyimpanan
Suhu optimum  untuk penyimpanan benih jangka panjang terletak antara 18-200C.
c.         Kelembapan tempat penyimpanan
Kelembapan lingkungan selama penyimpanan juga sangat mempengaruhi viabilitas benih, hal ini disebabkan karena sifat benih yang higroskopis yaitu selalu menyesuaikan diri dengan kelembapan udara disekitarnya. Kelembapan ruang simpan harus diatur sehingga sedemikian rupa sehingga kadar air benih pada keadaan yang menguntungkan untuk jangka waktu simpan yang panjang. Pada kebanyakan jenis benih, kelembapan nisbih ruang penyimpanan antara 50-60%, dan suhu 0-100C adalah cukup baik untuk mempertahankan viabilitas benih, paling tidak untuk jangka waktu penyimpanan selama 1 tahun.
d.        Tempat pengemasan
Tujuan pengemasan adalah untuk mempertahankan kualitas benih selama dalam penyimpanan dan atau pemasaran, sehingga benih tetap terjamin daya tumbuh dan daya kecambahnya secara normal.
Benih yang mengalami proses deteriorasi akan menyebabkan turunnya kualitas dan sifat  benih jika dibandingkan pada saat benih tersebut mencapai masa fisiologinya. Turunnya kualitas benih dapat mengakibatkan viabilitas dan vigor benih menjadi rendah yang pada akhirnya akan mengakibatkan tanaman menjadi buruk. Ciri-ciri ini dapat dilihat pada tanaman di lahan yang memiliki viabilitas yang tinggi dan hasil panen yang menjadi jelek. Selain itu, kemunduran benih ini dapat dilihat dari berkurangnya laju respirasi dan peningkatan kandungan asam lemak dalam benih.
Tanda-tanda kemunduran benih terdiri dari 3 gejala, yaitu gejala fisiologis, gejala kinerja benih dan pemudaran warna sebagai berikut :
a.         Gejala fisiologis
1)      Aktivitas enzim menurun : dehidrogenesis, glutamate, dekarboksilase, katalase, peroksidase, fenolase, amylase, sitokromoksidase.
2)      Respirasi menurun : konsumsi O2 rendah produksi CO2 rendah.
3)      Bocoran metabolit meningkat (nilai daya hantar listrik meningkat dan gula terlarut meningkat).
4)      Kandungan asam lemak bebas meningkat (Lipid = asam lemak + gliserol). Contoh pada benih kapas kandungan asam lemak bebas ≥1% sudah tidak dapat berkecambah.
b.        Gejala kinerja benih
1)      Kinerja perkecambahan rendah.
2)      Kemampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan rendah.
3)      Daya tumbuh di lapang rendah.
4)      Tidak tahan terhadap ancaman lingkungan.
5)      Pemudaran warna
6)      Pemudaran waran benih ini, biasanya akibat penuaan atau umur benih yang sudah lama, cirinya warna berubah menjadi coklat pada embrio atau pada kulit benih.

  Pengendalian Kemunduran Benih
Dalam kegiatan pertanian, terjadinya kemunduran benih merupakan salah satu faktor penyebab menurunnya produktivitas tanaman sehingga hal ini harus dihindari. Hasil-hasil penelitian menunjukkan dengan memberikan perlakuan pada benih yang memperlihatkan gejala kemunduran, dapat memperbaiki kondisi benih. Murray dan Wilson (1987) melaporkan kemunduran benih dapat dikendalikan dengan cara "invigorasi" melalui proses hidrasi-dehidrasi. Sadjad (1994) mendefinisikan invigorasi sebagai proses bertambahnya vigor benih. Dengan demikian perlakuan invigorasi adalah peningkatan vigor benih dengan memberikan perlakuan pada benih. Menurut Khan (1992) perlakuan pada benih adalah untuk memobilisasi sumber-sumber energi yang ada dalam benih untuk bekerja sama dengan sumber-sumber energi yang ada di luar atau dilingkungan tumbuh untuk menghasilkan pertanaman dan hasil yang maksimal.
Perlakuan benih yang telah dikenal antara lain presoaking dan conditioning. Menurut Khan (1992) presoaking adalah perendaman benih dalam sejumlah air pada suhu rendah sampai sedang, sedangkan conditioning adalah peningkatan mutu fisiologi dan biokimia (berhubungan dengan kecepatan dan perkecambahan, perbaikan serta peningkatan potensial perkecambahan) dalam benih oleh media imbibisi potensial air yang rendah (larutan atau media padatan lembap) dengan mengatur hidrasi dan penghentian perkecambahan. Benih menyerap air sampai potensial air dalam benih dan media pengimbibisi sama (dicapai keseimbangan potensial air). Presoaking dalam periode singkat menghasilkan efek yang cukup baik terhadap peningkatan perkecambahan dan pertumbuhan kecambah. Pengeringan tidak mengurangi pengaruh positif dari presoaking (Kidd and West dalam Khan, 1992). Perlakuan presoaking berpengaruh baik pada benih yang bervigor sedang. Perlakuan presoaking atau conditioning secara nyata efektif meningkatkan viabilitas dan vigor benih sebelum penyimpanan, dapat meningkatkan daya berkecambah potensi tumbuh, keserempakan tumbuh, dan bobot kering kecambah normal.
Untuk mengatasi permasalahan terjadinya kemunduran mutu benih baik yang diakibatkan oleh faktor penyimpanan maupun diakibatkan oleh faktor kesalahan dalam penanganan benih, dapat dilakukan dengan melakukan teknik “invigorasi”. Invigorasi adalah suatu perlakuan fisik atau kimia untuk meningkatkan atau memperbaiki vigor benih yang telah mengalami kemunduran mutu.
Secara umum benih berdasarkan ketahanannya terhadap pengeringan terbagi atas tiga kelompok, yaitu benih ortodoks, intermediate, dan benih rekalsitran. Benih jambu mete tergolong pada ortodoks yaitu benih yang toleran terhadap pengeringan sampai kadar air 5 % dan dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama. Aerasi akan menurunkan suhu, dan pemberian aerasi yang tepat dapat mencegah kerusakan benih akibat berpindahnya kelembapan. Benih yang dipanen dengan kadar air di atas 15−16% perlu dikeringkan. Pengeringan perlu dilakukan segera setelah benih dipanen, karena makin lama penundaan pengeringan, kualitas benih yang dihasilkan makin menurun (Hasanah 1987). Untuk benih ortodoks seperti benih terung KB, pengeringan dilakukan dengan cara membuang lendirnya terlebih dahulu. Selanjutnya benih yang telah bersih dikeringkan di bawah sinar matahari selama 3 hari.
Hidrasi-dehidrasi merupakan suatu perlakuan pelembaban benih dalam suatu periode tertentu yang diikuti dengan pengeringan benih sampai kembali pada berat semula (Basu dan Rudrapal, 1982). Metode pelembaban benih dilakukan dengan berbagai cara, seperti merendam benih, mencelup benih, menyemprot benih dan meletakkan benih pada udara yang jenuh dengan uap air. Sedangkan proses pengembalian kadar air benih seperti semula dapat dilakukan dengan mengeringkan benih dengan cahaya matahari langsung, dengan oven suhu 30°C atau dengan mengangin-anginkan benih sampai tercapai berat awal.
Meurut Satoto et al. (2008), benih terdiri dari: (a.) Benih Dasar (BD), ditandai dengan label putih, dimiliki dan diproduksi oleh Balai Benih Induk (BBI), penangkar benih yang mendapat rekomendasi dari Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB), produsen benih swasta atau BUMN; (b.) Benih Pokok (BP), ditandai dengan label ungu, dimiliki dan diproduksi oleh Balai Benih Utama (BBU), penangkar benih yang mendapat rekomendasi dari BPSB, produsen benih swasta atau BUMN; (c.) Benih Sebar (BR), ditandai dengan label biru, dimiliki dan diproduksi oleh BBU, penangkar benih atau produsen benih swasta atau BUMN.
TEKNOLOGI PENGERINGAN JAGUNG UNTUK MEMPERBAIKI MUTU BIJI JAGUNG
Pengeringan tongkol jagung dengan laju penjemuran 0,50%/jam atau laju pengeringan mesin pengering 2,07%/jam dan kemudian dipipil pada kadar air biji berkisar 15-17%, bisa disimpan selama 3 bulan di dalam kantong plastik pada suhu kamar berkisar 25ºC dengan tingkat infeksi cendawan berkisar 9-10% (Tabel 2) (Firmansyah et. al. 2006 ; Firmansyah et.al. 2007 ; Talanca et.al. 2008). Jika tidak segera dikeringkan seperti dipangkas daunnya dan dipotong batang 10 cm diatas tongkol jagung yang terbuka kelobotnya serta dijemur dipohon selama 7 hari setelah umur panen (P1), maka tingkat infeksi 18%. Hal ini menunjukkan bahwa pengeringan tongkol jagung dengan cara panen tongkol jagung dan kemudian segera dijemur (P5) dengan laju penjemuran 0,50%/jam dapat menekan tingkat infeksi Aspergillus flavus pada musim kemarau. Pengeringan tongkol jagung dengan mesin pengering dianjurkan khusus pada musim hujan, karena proses pengeringan lebih cepat, yaitu 20 jam atau laju pengeringannya dapat menekan infeksi cendawan Aspergillus flavus. Selain itu proses pemipilan jagung setelah kadar air biji jagungnya berkisar 15-20% Untuk pengeringan jagung pipilan dengan mesin pengering, walau paling cepat mengeringkan jagung dan paling rendah menekan infeksi Aspergillus flavus, yaitu masing-masing berturut-turut 7 jam dan 9%, tetapi tidak dianjurkan karena tongkol jagung dipipil pada kadar air biji > 20% sebelum dikeringkan. Menurut Thahir et.al. 1988 pemipilan jagung tongkol sebaiknya pada kadar air bijinya adalah 18% atau menurut Yamin et. al. 2005 ; Firmansyah et. al. 2006 berkisar 15-20% pada putaran poros silinder perontok 540-598 RPM.
MESIN PENGERING DENGAN ALAT TUKAR PANAS (HEAT EXCHANGER) UNTUK MEMPERBAIKI WARNA BIJI JAGUNG AGAR TIDAK KUSAM AKIBAT ASAP PEMBAKARAN KAYU/JANGGEL.
Mesin pengering biji-bijian tipe flat dryer dan kapasitas 3-4 ton sekali proses yang telah dimodifikasi, yaitu dari sumber panas pembakaran minyak tanah menjadi pembakaran kayu di dalam tungku yang ada di Kabupaten Tanah Laut, agar dibuat alat tukar panas (heat exchanger). Warna biji jagung hasil pengeringan dengan mesin pengering tersebut kusam, akibat asap pembakaran kayu masuk ke dalam bak pengering. Apabila tungku dilengkapi alat tukar panas (heat exchanger), warna biji jagung yang dikeringkan akan cerah, karena asap pembakaran terpisah oleh alat tukar panas. Mesin pengering telah dirancang dengan alat tukar panas antara lain : 1) model PTP-4K- Balitsereal yang telah disempurnakan, 2) mesin pengering sumber panas dari kolektor sinar matahari dan atau pembakaran limbah kayu atau janggel tongkol. Selain itu diperlukan penambahan unit pengering jagung di Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan, agar tidak terjadi penumpukan jagung bertongkol dengan kadar air tinggi (25-35%) selama penantian giliran pengeringan jagung selama 2- 10 hari pada saat puncak panen jagung di musim hujan (Firmansyah et. al. 2006).Usaha jasa pengeringan oleh pedagang pengumpul tingkat desa, di Kecamatan Pleihari di Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan tersebut layak ekonomi dengan nilai B/C = 1,40, NPV = Rp 9.010.100, dan IRR = 30,10% pada asumsi-asumsi yang berlaku pada tahun 2006.
MESIN PENGERING JAGUNG TIPE COUNTINOUS FLOW MODEL PTP-4KBALITSEREAL.
Penggunaan mesin pengering jagung untuk benih mutlak diperlukan terutama jika kondisi matahari tidak memungkinkan. Pada pengeringan benih jagung diperlukan pengaturan suhu udara pengering yang dapat diatur, yaitu suhu udara pengering maksimum 38º C, jika kadar air benih jagung yang sedang dikeringkan > 20 %. Kemudian benih jagung dalam bentuk tongkol diangin-anginkan dulu dan kemudian dilakukan pemipilan pada saat kadar air benih jagung telah mencapai kisaran 15-17%. Benih jagung dalam bentuk jagung pipilan dikeringkan lagi, sampai kadar air benih aman untuk disimpan, yaitu berkisar 9-11% (bergantung pada beberapa lama benih akan disimpan). Mesin pengering model PTP-4K-Balisereal dengan kapasitas 2 ton jagung bertongkol sekali proses (Gambar 1) dapat menghemat tenaga sebesar 45 HOK dan biaya pengeringan Rp 125.000 per ton pada tahun 2008 (Aqil et.al. 2008).
Untuk benih jahe, pengeringan rimpang dilakukan sampai kulit rimpang mengering tetapi bagian dalamnya masih tetap segar. Pada benih jahe yang cukup tua (10 bulan), pengeringan dapat dilakukan dengan penjemuran pada pagi hari (pukul 07.00–10.00) dengan suhu 25−32º C selama 3−4 hari. Bila rimpang jahe dipanen pada umur 8 bulan, pengeringan cukup dilakukan selama 1−2 hari. Sebelum disimpan, rimpang dibersihkan lalu dikeringanginkan selama 2–3 hari tergantung lokasi tanam dan kondisi tanah pada saat panen. Di Bengkulu, rimpang perlu dijemur 3−4 hari, sedangkan di Sukabumi, jika panen dilakukan pada saat kondisi tanah kering, rimpang cukup dikeringanginkan (Hasanah et al. 2004a).





III. KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa teknik pengeringan benih bertujuan untuk menghasilkan daya simpan benih yang lebih lama. Teknik pengeringan dapat dilakukan dengan pengovenan atau menggunakan mesin khusus pengeringan produk pertanian. Factor kemunduran benih dapat datang dari factor internal maupun eksternal benih itu sendiri.

B.     Saran
Perlu dilakukannya pengujian secara langsung mengenai teknik pengeringan, sehingga diperoleh teknik pengeringan yang lebih tepat.











DAFTAR PUSTAKA
Aqil, M., Firmansyah, I.U., Suarni, J. Tandiabang, O. Komalasari, A. Nadjamuddin, Suwardi, O. Komalasari. 2008. Proses pascapanen untuk menunjang perbaikan kualitas produk biji jagung berskala industry dan ekspor. Laporan Akhir. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Depatemen Pertanian. 74 hal.
_______., 2015.Kemunduran Benih. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Ambon.
Basu, R.N. and A.B. Rudrapal, 1982. Post harvest seed physiology and seed invigoration treatments. Proccedings of the Indian Statistical Institute Golden Jubilee International Conference on Frontiers of Research in Agriculture. Calcuta. India.
Copeland. L.O dan M.B.Mc. Donald. 1985. Principle of Seed Science and Technology. Burgess Publishing Company. New York.369 p.
Firmansyah, IU., Y. Sinuseng, dan A.H. Talanca. 2006. Penanganan Pengeringan dan Pemipilan Jagung. Prosiding Seminar Nasional. Pengembangan Usaha Agribisnis Industrial Pedesaan. dalam A. Muis, Sarasutha, IGP., E. jamal, M. D. Mario, Maskar, S. Bakhri, D. Bulo, C. Khairani, dan A. Subaedi.(Eds). p.100-106. Palu, 5-6 Desember 2006. P.100-106. ISBN : 978-979-985-77-1-2.
Hasanah, M. 1987. Faktor–faktor prapanen dan pascapanen yang mempengaruhi mutu benih. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat II(2): 9−14.
Khan, A.A., J.D. Maguire, G.S. Abawi and S. Ilyas. 1992. Matriconditioning of vegetable seeds to improve stand establishmeny in early field plantings. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 117(1): 41-47.
Mungnisyah W.Q. dan Asep S., 2006. Produksi Benih. Bumi Aksara. Jakarta.
Murray, A.G. and D.O. Wilson Jr, (1987): Priming on Seed for Improved Vigor. Bull. Agric. Exp. Station. University of Idaho : 677 : 55_77.
Sadjad, S. 1994. Kuantifikasi metabolism benih.PT Widia Sarana Indonesia, Jakarta.
Thahir, R., Sudaryono, Soemardi dan Soeharmadi. 1988. Teknologi Pasca panen Jagung dalam Subandi, M.Syam dan Adi Widjono (Eds). Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HANTARAN HIDROLIK