iklan banner

Kamis, 16 November 2017

PENGAPURAN PADA TANAH MARGINAL

LIKE, COMMENT, SHARE . . .



 LAPORAN PRAKTIKUM
BUDIDAYA TANAMAN PADA LAHAN MARGINAL
ACARA3
PENGAPURAN PADA TANAH MARGINAL



I.              PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk yang semakin pesat berpengaruh langsung terhadap kebutuhan di segala bidang, khususnya pada sektor pertanian. Namun sebagian besar lahan pertanian di Indonesia merupakan lahan kering, dari luas daratan 192 juta hektar yang terdapat di wilayah nusantara, di antaranya 15,8 juta hektar merupakan lahan kering pertanian rakyat di luar kawasan hutan yang terdiri atas lahan tegalan dan pengembalaan. Upaya pemanfaatan lahan dalam rangka pembangunan pertanian perlu diarahkan kepada pemanfaatan lahan kering ini. Salah satu jenis tanah yang layak dan berpotensi didayagunakan untuk lahan pertanian adalah Podsolik Merah Kuning (PMK).
Indonesia memiliki lahan kering masam yang cukup luas dan tersebar di seluruh pulau di Indonesia. Lahan kering masam sebenarnya merupakan potensi yang sangat besar untuk pembangunan pertanian, namun produktivitasnya umumnya rendah kecuali sistem pertanian lahan kering dengan tanaman tahunan atau perkebunan. Usaha tani lahan kering dengan tanaman pangan semusim produktivitasnya relatif rendah serta menghadapi masalah sosial ekonomi seperti tekanan penduduk yang terus meningkat dan masalah biofisik. Pengelolaan tanah pada lahan kering ini sangat penting terutama mengenai perbaikan sifat-sifat tanahnya.
Tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) atau dikenal juga dengan Ultisol memiliki kemasaman tanah yang tinggi dapat mempengaruhi ketersediaan berbagai unsur hara. Kondisi akan menghambat pertumbuhan tanaman dan efisiensi penggunaan pupuk menurun. Usaha memperbaiki tanah masam sampai saat ini dilakukan dengan pengapuran. Bahan untuk pengapuran yang biasanya digunakan yaitu kalsium karbonat (CaCO3) dan dolomit yang berasal dari penambangan batuan endapan kapur.

B.            Tujuan
Praktikum ini bertujuan:
1.      Mengetahui cara pengapuran pada lahan marginal.
2.      Mengetahui pengaruh pengapuran pada lahan marginal terhadap pertumbuhan tanaman.


II.           TINJAUAN PUSTAKA
Tanah sulfat masam berada pada pH yang sangat rendah, kandungan unsur hara makro dan mikro yang juga sangat rendah. Untuk menjadikan tanah sulfat masam sebagai media tumbuh yang baik diperlukan pengelolaan yang tepat yaitu dengan melakukan pengelolaan lingkungan tumbuh dan tindakan budidaya di antaranya suplai unsur hara dan pemberian bahan amelioran (bahan perbaikan kondisi kesuburan tanah) melalui pemupukan dan pengapuran. Pemupukan adalah cara yang dapat dilakukan untuk memenuhi ketersediaan unsur hara tanah yang dibutuhkan tanaman (Nursanti dan Araz, 2014).
Dolomit merupakan golongan dari kapur karbonat, agar dapat digunakan untuk pertanian batu kapur keras ini digiling terlebih dahulu hingga kehalusan tertentu. Semakin halus ukuran butirannya semakin cepat reaksinya dengan tanah, mutu kapur pertanian disarankan harus mengandung kalsit (CaCO3) total besar atau sama dengan 85% atau CaO total sama besar atau sama dengan 48% (Nyakpa dkk, 1988). Perlakuan kapur berpengaruh nyata terhadap semua komponen yang diamati, setiap peningkatan dosis kapur sampai 3 ton/ha akan diikuti dengan peningkatan bobot bintil, tinggi tanaman pada saat menjelang panen, indeks luas daun, jumlah polong berisi, berat biji per tanaman, dan hasil biji kering per hektar pada tanah podzolik merah kuning (Brotonegoro, 1992).
Tanaman kangkung darat (Ipomea reptans Poir) Berdasarkan tempat hidupnya, tanaman kangkung dapat dibedakan menjadi kangkung darat (Ipomea reptans Poir) dan kangkung air (Ipomea aquatiqa Poir). Akan tetapi, jumlah varietas kangkung darat lebih banyak dibandingkan kangkung air. Varietas kangkung darat terbagi menjadi varietas Bangkok, biru, cinde, sukabumi, dan sutra. Sedangkan varietas kangkung air terbagi menjadi varietas sumenep dan varietas biru. Secara alamiah, Kangkung ini dapat ditemukan di kolam, rawa, sawa, dan tegalan. Tumbuhnya menjalar dengan banyak percabangan. Sistem perakarannya tunggang dengan cabang cabang akar yang menyebar ke berbagai penjuru. Tangkai daun melekat pada buku-buku batang dan bentuk helaiannya seperti hati. Bunganya menyerupai terompet. Bentuk buahnya bulat telur dan di dalamnya berisi 3 butir biji.
Tanah Podsolik Merah-Kuning (PMK) atau Ultisol merupakan bagian terluas dari lahan kering di Indonesia yang akhir-akhir ini menjadi sasaran utama perluasan lahan pertanian di luar pulau Jawa dan menjadi sasaran pembukaan lahan pemukiman transmigrasi. Tanah PMK perlu mendapat perhatian khusus mengingat kendala yang dimilikinya (Munir, 1996). Pembentukan tanah OMK banyak dipengaruhi oleh bahan induk tua seperti batuan liat, iklim yang cukup panas dan basar, relief berombak sampai berbukit (Hardjowigeno, 1992).
Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada tanah Ultisol dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal ini karena kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kandungan bahan organik pada lapisan atas. Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin bahan organik dan hara. Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah (Sri Adiningsih dan Mulyadi 1993).
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia. Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung (Subagyo et al. 2004).
Naradisorn (2013) menyatakan bahwa pemberian kalsium pasti akan meningkatkan konsentrasinya di dalam tanaman yang akan berpengaruh terhadap struktur dan fungsi dinding sel serta membrane sel, bahkan metabolisme sel. Pemberian kalsium ke tanah lebih efisien untuk meningkatkan kalsium dalam organ tanaman. Pemberian kalsium dalam bentuk kalsium karbonat dalam penelitian ini bertujuan meningkatkan ketersediaan kalsium di dalam tanah, selain itu juga secara tidak langsung dapat menurunkan kemasaman tanah. Menurut Gardner (1985), dalam pertanian modern, pemberian kapur dalam bentuk dolomit (CaCo3+MgO) sering digunakan pada tanah dengan tujuan untuk meningkatkan pH tanah dan meyuplai Ca dan Mg sebagai hara tanaman.
Tanah PMK merupakan salah satu jenis tanah mineral masam (acid soil) yang merupakan potensi besar untuk perluasan dan meningkatan produksi pertanian di Indonesia. Hampir semua tanaman dapat tumbuh dan dikembangkan pada tanah ini. Pemanfaatan PMK untuk pengembangan tanaman pangan umumnya terkendala oleh sifat-fifat kimia tanah. Kendala utama yang dijumpai di dalam kaitannya dengan pengembangan PMK untuk lahan pertanian terutama karena termasuk tanah yang mempunyai harkat keharaan rendah (Prahastuti, 2005).
Program pengembangan pertanian dan perkebunan oleh pemerintah diprioritaskan ke luar pulau Jawa, terutama di lahan podsolik merah kuning (PMK) dan pasangsurut. Menurut Mulyani dan Hidayat (1988) lahan PMK di Indonesia seluas 48,3 juta ha yang tersebar di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan Irian Jaya. Di Kalimantan Selatan luas lahan PMK yang belum dimanfaatkan untuk pertanian dan perkebunan seluas 4 juta ha. Oleh karena itu lahan PMK perlu di berdayakan agar menghasilkan produk yang menguntungkan (Budi Santoso, 2006).
Permasalahan yang dihadapi pada lahan PMK adalah pH termasuk masam, tingkat ketersediaan C-organik rendah sampai sedang, P sedang sampai tinggi, K, basa-basa, Ca, Mg, Na, kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) semuanya rendah (Santoso et al., 1993a). Kriteria kemasaman tanah dan kandungan Aldd dalam tanah tinggi, sehingga pemberian P dalam jumlah yang cukup tidak direspon oleh tanaman, karena banyak yang terfiksasi, akibatnya P tidak tersedia bagi tanaman (Nursyamsi et al., 1995; Brady, 1990 ; Hairiah, 1994; Amin, 1992). Usaha di bidang pertanian dan perkebunan di lahan yang demikian tidak akan menghasilkan produksi yang optimal.
Ketersediaan hara P dipengaruhi oleh pH tanah, jumlah Al dan Fe bebas dalam tanah. Manakala kandungan Al dan Fe tinggi di dalam tanah maka menyebabkan P terikat menjadi Al-P dan Fe-P yang sulit untuk dilepas, sehingga P tidak tersedia bagi tanaman. Kation-kation Ca, Mg, K dan Na merupakan unsur hara makro yang diperlukan dalam jumlah yang banyak oleh tanaman. Berdasarkan nilai kation yang diperoleh dikategorikan sangat rendah sampai dengan rendah. Tanda dari kesuburan tanah yang baik adalah mempunyai susunan kation Ca, Mg, K dan Na yang seimbang (Budi Santoso, 2006).















III.        METODE PAKTIKUM
A.           Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada praktikum adalah tanah podsolik merah kuning, kapur pertanian, dolomit, NPK mutiara dan benih kangkung darat. Alat yang digunakan adalah screen house, polybag, timbangan, ember, penggaris, timbangan elektrik, dan alat tulis.

B.            Prosedur Kerja
1.      Tanah podsolik merah kuning disiapkan dengan menimbangnya 5 kg/polybag sebanyak 20 polybag.
2.      Kapur pertanian (KP) dan dolomit (D) diberikan sesuai dengan perlakuan dosis (K = 0 g, KP1 = 2 g, KP2 = 4 g, D1 = 2 g, D2 = 4 g), kemudian dicampur hingga merata dengan tanah podsolik merah kuning yang sudah disiapkan.
3.      Setiap polybag disiram sampai kapasitas lapang, kemudian benih tanaman kangkung ditanam sebanyak 6 biji pada masing-masing polybag.
4.      Perlakuan dirancang secara RAKL dengan 4 ulangan.
5.      Setiap polybag dipupuk dengan NPK mutiara 10 hari setelah tanam dengan dosis 25 g/polybag.
6.      Pemeliharaan dilakukan dengan menyiram setiap polybag dan penjarangan dengan menyisakan 3 tanaman/polybag.
7.      Pengendalian OPT dilakukan secara insidentil saja.
8.      Pengamatan tinggi tanaman dilakukan setiap 2 hari sekali.
IV.        HASIL DAN PEMBAHASAN
A.      Hasil
(Terlampir)
B.       Pembahasan
Kemasaman tanah juga sangat menentukan proses penambatan nitrogen secara biologis, hal ini terkait dengan ketersediaan Mo di dalam tanah. Mo merupakan komponen meta-protein nitrogenase dan membantu proses penambatan nitrogen dan merupakan komponen yang sangat esensial diperlukan untuk metabolisme N bakteria (Armiadi 2009).
Penyebab kemasaman tanah yang utama adalah curah hujan yang tinggi yang menyebabkan basa-basa tercuci, mineral Al silikat membebaskan ion Al sebagai penyumbang kemasaman melalui hidrolisis. Di samping itu pelapukan The 2nd University Research Coloquium 2015 ISSN 2407-9189 317 bahan organik, asam sulfat dan nitrat dari pupuk atau bahan organik juga dapat menyebabkan kemasaman tanah. (Nyakpa dkk, 1988). Penggunaan amelioran ditetapkan berdasarkan tingkat kejenuhan Alumunium (Al) tanah dan kandungan bahan organik tanah kejenuhan Al memiliki hubungan kuat dengan tingkat kemasaman tanah (pH) (Marwoto, 2009).
Kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi dapat dinetralisir dengan pengapuran. Pemberian kapur bertujuan untuk meningkatkan pH tanah dari sangat masam atau masam ke pH agak netral atau netral, serta menurunkan kadar Al. Untuk menaikkan kadar Ca dan Mg dapat diberikan dolomit, walaupun pemberian kapur selain meningkatkan pH tanah juga dapat meningkatkan kadar Ca dan kejenuhan basa. Terdapat hubungan yang sangat nyata antara takaran kapur dengan Al dan kejenuhan Al. Dosis kapur disesuaikan dengan pH tanah, umumnya sekitar 3 ton/ha. Kapur yang baik adalah kapur magnesium atau dolomit yang dapat sekaligus mensuplai Ca dan Mg (Anitasari et al., 2015).
Pengapuran dapat mengatasi pengaruh buruk kemasaman tanah yang tinggi dan merupakan salah satu cara yang sudah lama dikenal dan diterapkan. Dengan tindakan ini, kemasaman tanah diturunkan sampai tingkat yang tidak membahayakan bagi pertumbuhan tanaman. Pengapuran juga dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang diperlukan tanaman (Syukur dan Indrasari 2006). Selanjutnya Raihan et al. (2004) menjelaskan bahwa pemberian kapur sebesar 750 kg.ha-1 pada tanah sulfat masam dengan pH 4,4 dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi jagung terbaik pada pH 6 dengan produksi jagung mencapai 4,43 ton.ha-1
Dolomit merupakan golongan dari kapur karbonat, agar dapat digunakan untuk pertanian batu kapur keras ini digiling terlebih dahulu hingga kehalusan tertentu. Semakin halus ukuran butirannya semakin cepat reaksinya dengan tanah, mutu kapur pertanian disarankan harus mengandung kalsit (CaCO3) total besar atau sama dengan 85% atau CaO total sama besar atau sama dengan 48% (Nyakpa dkk, 1988). Perlakuan kapur berpengaruh nyata terhadap semua komponen yang diamati, setiap peningkatan dosis kapur sampai 3 ton/ha akan diikuti dengan peningkatan bobot bintil, tinggi tanaman pada saat menjelang panen, indeks luas daun, jumlah polong berisi, berat biji per tanaman, dan hasil biji kering per hektar pada tanah podzolik merah kuning (Brotonegoro, 1992).
Salah satu faktor penghambat meningkatnya produksi tanaman adalah masalah keasaman tanah. Tanah asam memberikan pengaruh yang buruk pada pertumbuhan tanaman hingga hasil yang dicapai rendah. Untuk mengatasi keasaman tanah perlu dilakukan usaha pemberian kapur kedalam tanah. Pengapuran dapat merangsang terjadinya struktur tanah yang remah, merangsang kehidupan jasad tanah, mempercepat pelapukan bahan organik menjadi humus, merangsang perkembangan akar, hingga akar lebih mudah menyerap zat makanan dan dalam tanah yang membuat tanaman tumbuh lebih sehat dan mampu memberikan hasil yang tinggi, pada tanaman kedelai pengapuran mendorong pembentukan bintil akar untuk mengikat nitrogen. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah kondisi awal pH tanah, dosis pengapuran juga diatur dalam kegiatan ini sehingga didapatkan pH tanah yang sesuai untuk pertumbuhan (Anitasari et al., 2015).
Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada klasifikasi lama menurut Soepraptohardjo (1961), Ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik. Merah Kuning (PMK). Warna tanah pada horizon argilik sangat bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R, nilai 3−6 dan kroma 4−8 (Subagyo et al. 1986). Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik yang menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga merah. Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan makin merah warna tanah makin tinggi kandungan hematit (Eswaran dan Sys, 1970).
Tekstur tanah PMK bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya. Tanah PMK dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir, sedangkan tanah PMK dari batu kapur, batuan andesit, dan tufa cenderung mempunyai tekstur yang halus seperti liat dan liat halus. Tanah PMK umumnya mempunyai struktur sedang hingga kuat, dengan bentuk gumpal bersudut (Suharta dan Prasetyo 1986).
Tanah PMK umumnya mempunyai nilai kejenuhan basa < 35%, karena batas ini merupakan salah satu syarat untuk klasifikasi tanah PMK menurut Soil Taxonomy. Beberapa jenis tanah PMK mempunyai kapasitas tukar kation < 16 cmol/kg liat, yaitu PMK yang mempunyai horizon kandik. Reaksi tanah PMK pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5−3,10), kecuali tanah PMK dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga agak masam (pH 6,80−6,50). Kapasitas tukar kation pada tanah PMK dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah masing-masing berkisar antara 2,90−7,50 cmol/kg, 6,11−13,68 cmol/kg, dan 6,10−6,80 cmol/kg, sedangkan yang dari bahan volkan andesitik dan batu gamping tergolong tinggi (>17 cmol/kg). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tanah PMK dari bahan volkan, tufa berkapur, dan batu gamping mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi (Prasetyo et al. 2000).
Nilai kejenuhan Al yang tinggi terdapat pada tanah PMK dari bahan sedimen dan granit (> 60%), dan nilai yang rendah pada tanah PMK dari bahan volkan andesitik dan gamping (0%). PMK dari bahan tufa mempunyai kejenuhan Al yang rendah pada lapisan atas (5−8%), tetapi tinggi pada lapisan bawah (37−78%). Kandungan hara pada tanah PMK umumnya rendah karena pencucian basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah PMK yang mempunyai horizon kandik, kesuburan alaminya hanya bergantung pada bahan organik di lapisan atas. Dominasi kaolinit pada tanah ini tidak memberi kontribusi pada kapasitas tukar kation tanah, sehingga kapasitas tukar kation hanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat (Prasetyo et al. 2000).
Pengapuran adalah pemberian kapur, bahan yang mengandung unsur Ca yang dapat meningkatkan pH tanah. Secara umum pengapuran bertujuan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi dari tanah. Pengapuran menetralkan senyawa-senyawa beracun dan menekan penyakit tanaman. Aminisasi, amonifikasi dan oksidasi belerang nyata dipercepat oleh meningkatnya pH yang diakibatkan oleh pengapuran, dengan meningkatnya pH tanah, maka akan menjadikan tersedianya unsur N, P dan S serta unsur mikro bagi tanaman. Kapur yang banyak digunakan di Indonesia dalam bentuk kalsit (CaCO3) dan dolomite (CaMg(CO3)2) (Subagyo et al. 2004).
Pengapuran dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan dengan unsur lain. Pada kebanyakan tanaman tingkat tinggi, penjagaan ph 6-7 menjamin ketersediaan hara. Tingginya konsentrasi ion hidrogen yang terdapat dalam larutan tanah akan menimbulkan reaksi tanah yang besifat masam, dengnan pengapuran konsentransi ion hidrogen yang tinggi dapat diturunkan, sehingga derajat kemasaman tanahnya dikehendaki oleh tanaman tertentu yang hendak ditanam. Dengan adanya pengapuran pada tanah masam, absorbsi unsur-unsur Mo, P dan Mg akan meningkat pada dan pada waktu yang bersamaan akan menurunkan secara nyata konsentrassi Fe, Al dan Mn yang dalam keadaan masam unsur-unsur ini dapat mencapai konsentrasi yang bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian, pengapuran tidak boleh dilakukan secara sembarangan, karena kelebihan kapur pada tanah mengakibatkan tanaman kerdil, Mn dan P menjadi tidak tersedia (Subagyo et al. 2004).
Manfaat kapur yang diberikan kedalam tanah adalah:
1.      Menurunkan pH tanah.
2.      Menurunkan kelarutan Al.
3.      Menngkatkan kandungan unsur hara Ca dan Mg.
4.      Memperbaiki tekstur dan memantapkan agregat tanah.
5.      Menurunkan tingkat bahaya erosi karena agregat tanah yang mantap.
6.      Memperbaiki sifat biolgi tanah seperti aktivitas mikro organism (Subagyo et al. 2004).
Mekanisme reaksi dari bahan kapur pada komplek tanah masam dapat dilukiskan sebagai berikut (Buckman and Brady, 1964).


Dari reaksi tersebut, bahwa begitu reaksi kekanan, kelihatan pengaruh netralisasi ion H oleh kapur dan peningkatan jumlah kalsium yang dapat dipertukarkan. Sehingga kejenuhan basa dan pH tanah meningkat.
Pengapuran juga bertujuan untuk mengurangi resiko keracunan aluminium, dalam tanah masam banyak ditemukan ion Al3+ yang bersifat masam, karena dengan air ion tersebut dapat menghasilkan ion H+. Oleh karena itu ion H+ harus dikeluatkan dari larutan tanah dengan ion Al3+ harus dinetralkan. Jadi tujuan pengapuran adalah supaya koloid tanah menjadi netral, aluminium dinonaktifkan dan hidrogen dioksidasi menjadi air (Suharta, N. dan B.H. Prasetyo, 1986).
Kalsium merupakan unsur hara makro yang dibutuhkan oleh tanaman. Kalsium termasuk salah satu kation utama pada komplek pertukaran, sehingga biasa dihubungkan dengan masalah kemasaman tanah dan pengapuran, karena merupakan kation yang paling cocok untuk mengurangi kemasaman atau menaikan pH tanah (Hardjowigeno, 1992). Kandungan kalsium di dalam tanah salah satunya berasal dari bahan kapur. Pemberian kapur pada tanaman umumnya diberikan dalam bentuk dolomit dan kaptan. Kaptan atau Kapur pertanian adalah kapur karbonat yang bahan penyusunnya berupa batuan kapur tanpa proses pembakaran, tetapi langsung digiling. Kapur dolomit berasal dari batu kapur dolimitik dengan rumus [CaMg (CO3)2] (Buckman and Brady, 1964). Dolomit terbentuk dari hasil reaksi antara unsur Mg dengan batu gamping (limestone). Pembentukan dolomit berlangsung dalam air laut dan unsur Mg yang diperlukan berasal dari hasil disosiasi (penguraian) garam MgCO3 yang terdapat dalam air laut. Sebagai mana diketahui bahwa air laut mengandung berbagai jenis garam-garaman, antara lain MgCO3 dan CaCO3. Proses pembentukannya berlangsung ratusan sampai ribuan tahun. Adapun perbedaan kedua jenis kapur ini adalah Kandungan kalsium dalam dolomit adalah sekitar 30%, sedangkan kaptan sekitar 90% (Novizan, 2001).
Pemberian kapur dengan dosis yang tepat akan dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara di dalam tanah masam. Hal ini disebabkan karena kapur yang digunakan dalam penelitian adalah jenis dolomite yang mengandung unsur Ca (32,00%) dan Mg (4,03%). Pemberian kapur ini dapat memperbaiki sifat fisik tanah yaitu memperbaiki granulasi tanah sehingga aerasi lebih baik, sifat kimia tanah yaitu menurunkan kepekatan ion H (meningkatkan pH), menurunkan kelarutan Fe, Al dan Mn, meningkatkan ketersediaan Ca, Mg, P, N, K dan Mo serta meningkatan kejenuhan basa, dan sifat biologi tanah yaitu meningkatkan kegiatan jasad renik tanah (Nursanti dan Araz, 2014).
Peningkatan pH dalam tanah yang diperoleh dari pemberian kapur disebabkan oleh kandungan kapur CaCO3 dan MgCO3 terurai menjadi Ca2+, Mg2+ dan CO3 2- , selanjutnya CO3 2- (ion karbonat) bereaksi dengan air sehingga menghasilkan ion OHyang dapat mengikat Al3+ dan dapat meningkatkan pH. Meningkatnya pH maka akan membantu meningkatkan ketersediaan unsur hara N, P dan K di dalam tanah dan akan mengurangi kadar Al yang tinggi pada tanah sulfat masam. Pertumbuhan tanaman disebabkan peranan unsur N dan P serta K didalam jaringan tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gardner et al. (1991), bahwa penyerapan unsur hara makro terutama N, P dan K dari dalam tanah tersimpan pada vakuola tanaman yang berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan jaringan maristematik. Dengan meningkatnya jumlah unsur hara yang diserap tanaman maka akan mempercepat pembelahan sel jaringan maristem secara terus-menerus dan menghasilkan sel baru yang membentuk tubuh tanaman yang pada akhirnya menghasilkan cabang juga lebih banyak.
Praktikum pengapuran pada lahan marginal dilakukan dengan pemberian kapur pertanian dan dolomit pada tanah podsolik merah kuning. Berdasarkan hasil analisis, pengaruh pemberian beberapa jenis kapur menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata sehingga disimpulkan bahwa setiap perlakuan menambah tinggi tanaman yang sama. Sedangkan menurut penelitian Nurmas (2008), pada perlakuan kapur pertanian dan dolomit dengan dosis 1-2,5 ton/ha dapat memacu pertumbuhan dan produksi mentimun lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.
Pengapuran dengan dosis yang berlebihan juga tidak dianjurkan karena akan berdampak pada penurunan ketersediaan unsur hara makro maupun mikro di dalam tanah. Hal ini sesuai dengan penjelasan Syukur dan Indrasari (2006) bahwa pengapuran pada tanah masam dalam jumlah berlebihan dapat menekan unsur hara mikro secara berlebihan dan menekan ketersediaan unsur P tanah untuk itu pemberian kapur cukup pada penaikan pH sampai batas 6,5.
Maftu’ah dkk (2013) menerangkan bahwa serapan P akan terganggu pada kondisi masam karena P tidak mobil. Kondisi masam juga menyebabkan pertumbuhan dan fungsi akar terganggu. Penambahan dolomit pada penelitian ini diperlukan karena dolomit mengandung kation basa yang dapat membantu dalam meningkatkan pH tanah. Nurhayati (2013) menjelaskan bahwa kapur dolomit mengandung unsur Ca dan Mg. Kedua jenis unsur dapat melepaskan ion OH yang berpengaruh terhadap peningkatan pH tanah.

V.           KESIMPULAN DAN SARAN
A.      Kesimpulan
Berdasarkan praktikum dan hasil pengamatan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1.        Pengapuran dilakukan cara mencampurkan kapur pertanian dan dolomit pada tanah yang telah diisikan ke dalam polybag.
2.        Pengaruh pemberian beberapa jenis kapur menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata sehingga disimpulkan bahwa setiap perlakuan menambah tinggi tanaman yang sama.
B.       Saran
Praktikum harus dikerjakan dengan teliti dalam pengamatan dan perhitungan agar didapatkan hasil yang valid. Memperhatikan cara pengapuran yang baik dari beberapa pengujian.


DAFTAR PUSTAKA
Anitasari, F. Rahayu Sawitri, & Agus Suprapto. 2015. Pengaruh Pupuk Organik dan Dolomit pada Lahan Pantai terhadap pertumbuhan dan Hasil Kedelai. The Second University Research Coloquium. Universitas Tidar.
Amin, I. 1992. Problem and prospects of peanut cultivation acid soils. International Agriculture Riset Development. Journal 14 (2) : 23-32.
Armiadi. 2009. Pengaruh unsur hara molibdenum dan penambatan nitrogen. Wartazoa 9(3):23-30.
Brotonegoro, S. 1992. Prosiding Lokakarya Penelitian Komoditas dan Studi Khusus Volume 4: Palawija. Proyek Pembangunan Pertanian Terapan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta.
Buckman, H.O. and N.C. Brady. 1964. The Nature and Properties of Soil. Macmillan Co. Mineapolis. Minessota. 567 p.
Eswaran, H. and C. Sys. 1970. An evaluation of the free iron in tropical andesitic soil. Pedologie 20: 62−65.
Gardner FP, Pearce RB , Mitchel RL. 1985. Physiology of Crop Plants. Iowa State University Press. 327 p
Gardner FPR, B Pearce, RL Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta: Universitas Indonesia
Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. PT. Mediatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Marwoto. 2009. Pedoman Umum PTT Kedelai. Departemen Pertanian. Jakarta.
Mulyani, A. dan Hidayat. 1988. Podsolik Merah Kuning. Pusat Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hal:1-8.
Munir, M. 1996. Tanah-Tanah Utama di Indonesia. Pustaka Jaya. Jakarta.
Naradisorn M. 2013. Effect of calcium nutrition on fruit quality and postharvest diseases. International Journal of Science Innovations and Discoveries 3(1):8-13.
Novizan, 2001. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agromedia. Jakarta.
Nurmas, A. 2008. “Pengaruh Kapur Pertanian dan Dolomit terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Mentimun pada Tanah PMK”. Warta-Wiptek. Vol. 16, No. 2 : 79-82.
Nursanti, I. & Araz Meilin, 2014. Respon Bibit Kakao Terhadap Pemberian Pupuk Organik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit dan Dolomit pada Tanah Sulfat Masam. J. Lahan Suboptimal Vol. 3 (2):109-116
Nursyamsi, D., O. Soepandi, D. Erfandi, Sholeh dan I.P.G. Widjaja. 1995. Penggunaan bahan organik, pupuk P dan K untuk peningkatan produktivitas tanah Podsolik. Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Risalah Seminar. 2: 47-52.
Nyakpa, Y. Lubis, A. M. Pulung, M. A. Amrah, G. Munawar, A. Ban, H.G. dan Hakim, N. 1988. Kesuburan Tanah. Penerbit Universitas Lampung. Lampung.
Prasetyo, B.H., H. Sosiawan, and S. Ritung. 2000. “Soil of Pametikarata, East Sumba: Its suitability and constraints for food crop development. Indon. J.  gric. Sci. 1(1): 1− 9.
Raihan S, Arifin M Z, Nazemi D. 2004. Tanggap tanaman jagung terhadap pemberian pupuk NPK dan kapur tanah sulfat masam dari Kalteng. Prosiding Seminar Nasional PLTT dan Hasil-Hasil Penelitain Pengkajian Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Jambi 2004.
Santoso, B., A. Satrosupadi dan Djumali. 1993a. Effect of the rates of N,P,K fertilizer, lime and blotong on yield of kenaf in South Kalimantan. Industrial Crop Research, Journal 5(2):9-12.
Santoso, Budi. 2006. Pemberdayaan Lahan Podsolik Merah Kuning Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) di Kalimantan Selatan. Perspektif Vol. 5 (1): 01-12.
Sri Adiningsih, J. dan Mulyadi. 1993. Alternatif teknik rehabilitasi dan pemanfaatan lahan alang-alang. hlm. 29−50. Dalam S. Sukmana, Suwardjo, J. Sri Adiningsih, H. Subagjo, H. Suhardjo, Y. Prawirasumantri (Ed.). Pemanfaatan lahan alang-alang untuk usaha tani berkelanjutan. Prosiding Seminar Lahan Alang-alang, Bogor, Desember 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.
Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. hlm. 21−66. Dalam A. Adimihardja, L.I. Amien, F. Agus, D. Djaenudin (Ed.). Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Subagyo, H., P. Sudewo, dan B.H. Prasetyo. 1986. Pedogenesis beberapa profil Mediteran Merah dari batu kapur di sekitar Tuban, Jawa Timur. hlm. 103−122. Dalam U. Kurnia, J. Dai, N. Suharta, I.P.G. Widjaya-Adhi, J. Sri Adiningsih, S. Sukmana, J. Prawirasumantri (Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Cipayung, 10−13 November. 1981. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Suharta, N. dan B.H. Prasetyo. 1986. Karakterisasi tanah-tanah berkembang dari batuan granit di Kalimantan Barat. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 6: 51−60.
Sutedjo, M. M. 2008. Pupuk dan Cara Pemupukan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Syukur A, Indrasari A. 2006. Pengaruh pemberian pupuk kandang dan unsur hara mikro terhadap pertumbuhan jagung pada ultisol yang dikapur. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 6(2): 116-123.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HANTARAN HIDROLIK