LAPORAN PRAKTIKUM
BUDIDAYA
TANAMAN PADA LAHAN MARGINAL
ACARA3
PENGAPURAN PADA TANAH MARGINAL
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pertumbuhan
penduduk yang semakin pesat berpengaruh langsung terhadap kebutuhan di segala
bidang, khususnya pada sektor pertanian. Namun sebagian besar lahan pertanian
di Indonesia merupakan lahan kering, dari luas daratan 192 juta hektar yang
terdapat di wilayah nusantara, di antaranya 15,8 juta hektar merupakan lahan
kering pertanian rakyat di luar kawasan hutan yang terdiri atas lahan tegalan
dan pengembalaan. Upaya pemanfaatan lahan dalam rangka pembangunan pertanian
perlu diarahkan kepada pemanfaatan lahan kering ini. Salah satu jenis tanah
yang layak dan berpotensi didayagunakan untuk lahan pertanian adalah Podsolik
Merah Kuning (PMK).
Indonesia memiliki
lahan kering masam yang cukup luas dan tersebar di seluruh pulau di Indonesia.
Lahan kering masam sebenarnya merupakan potensi yang sangat besar untuk
pembangunan pertanian, namun produktivitasnya umumnya rendah kecuali sistem
pertanian lahan kering dengan tanaman tahunan atau perkebunan. Usaha tani lahan
kering dengan tanaman pangan semusim produktivitasnya relatif rendah serta
menghadapi masalah sosial ekonomi seperti tekanan penduduk yang terus meningkat
dan masalah biofisik. Pengelolaan tanah pada lahan kering ini sangat penting
terutama mengenai perbaikan sifat-sifat tanahnya.
Tanah
Podsolik Merah Kuning (PMK) atau dikenal juga dengan Ultisol memiliki kemasaman
tanah yang tinggi dapat mempengaruhi ketersediaan berbagai unsur hara. Kondisi
akan menghambat pertumbuhan tanaman dan efisiensi penggunaan pupuk menurun.
Usaha memperbaiki tanah masam sampai saat ini dilakukan dengan pengapuran.
Bahan untuk pengapuran yang biasanya digunakan yaitu kalsium karbonat (CaCO3)
dan dolomit yang berasal dari penambangan batuan endapan kapur.
B.
Tujuan
Praktikum ini bertujuan:
1. Mengetahui
cara pengapuran pada lahan marginal.
2. Mengetahui
pengaruh pengapuran pada lahan marginal terhadap pertumbuhan tanaman.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
Tanah
sulfat masam berada pada pH yang sangat rendah, kandungan unsur hara makro dan
mikro yang juga sangat rendah. Untuk menjadikan tanah sulfat masam sebagai
media tumbuh yang baik diperlukan pengelolaan yang tepat yaitu dengan melakukan
pengelolaan lingkungan tumbuh dan tindakan budidaya di antaranya suplai unsur
hara dan pemberian bahan amelioran (bahan perbaikan kondisi kesuburan tanah)
melalui pemupukan dan pengapuran. Pemupukan adalah cara yang dapat dilakukan
untuk memenuhi ketersediaan unsur hara tanah yang dibutuhkan tanaman (Nursanti
dan Araz, 2014).
Dolomit merupakan golongan dari kapur karbonat, agar dapat
digunakan untuk pertanian batu kapur keras ini digiling terlebih dahulu hingga
kehalusan tertentu. Semakin halus ukuran butirannya semakin cepat reaksinya
dengan tanah, mutu kapur pertanian disarankan harus mengandung kalsit (CaCO3)
total besar atau sama dengan 85% atau CaO total sama besar atau sama dengan 48%
(Nyakpa dkk, 1988). Perlakuan kapur berpengaruh nyata terhadap semua komponen
yang diamati, setiap peningkatan dosis kapur sampai 3 ton/ha akan diikuti
dengan peningkatan bobot bintil, tinggi tanaman pada saat menjelang panen,
indeks luas daun, jumlah polong berisi, berat biji per tanaman, dan hasil biji
kering per hektar pada tanah podzolik merah kuning (Brotonegoro, 1992).
Tanaman
kangkung darat (Ipomea reptans Poir)
Berdasarkan tempat hidupnya, tanaman kangkung dapat dibedakan menjadi kangkung
darat (Ipomea reptans Poir) dan
kangkung air (Ipomea aquatiqa Poir).
Akan tetapi, jumlah varietas kangkung darat lebih banyak dibandingkan kangkung
air. Varietas kangkung darat terbagi menjadi varietas Bangkok, biru, cinde,
sukabumi, dan sutra. Sedangkan varietas kangkung air terbagi menjadi varietas
sumenep dan varietas biru. Secara alamiah, Kangkung ini dapat ditemukan di
kolam, rawa, sawa, dan tegalan. Tumbuhnya menjalar dengan banyak percabangan.
Sistem perakarannya tunggang dengan cabang cabang akar yang menyebar ke
berbagai penjuru. Tangkai daun melekat pada buku-buku batang dan bentuk helaiannya
seperti hati. Bunganya menyerupai terompet. Bentuk buahnya bulat telur dan di
dalamnya berisi 3 butir biji.
Tanah Podsolik
Merah-Kuning (PMK) atau Ultisol merupakan bagian terluas dari lahan kering di
Indonesia yang akhir-akhir ini menjadi sasaran utama perluasan lahan pertanian
di luar pulau Jawa dan menjadi sasaran pembukaan lahan pemukiman transmigrasi.
Tanah PMK perlu mendapat perhatian khusus mengingat kendala yang dimilikinya
(Munir, 1996). Pembentukan tanah OMK banyak dipengaruhi oleh bahan induk tua
seperti batuan liat, iklim yang cukup panas dan basar, relief berombak sampai
berbukit (Hardjowigeno, 1992).
Ultisol dicirikan
oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi
daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Erosi
merupakan salah satu kendala fisik pada tanah Ultisol dan sangat merugikan
karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal ini karena kesuburan tanah Ultisol
sering kali hanya ditentukan oleh kandungan bahan organik pada lapisan atas. Bila
lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin bahan organik dan hara. Tanah
Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh
penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman
tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah (Sri Adiningsih dan
Mulyadi 1993).
Ultisol merupakan
salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai
45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia. Sebaran
terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di Sumatera (9.469.000
ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000
ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai
relief, mulai dari datar hingga bergunung (Subagyo et al. 2004).
Naradisorn (2013)
menyatakan bahwa pemberian kalsium pasti akan meningkatkan konsentrasinya di
dalam tanaman yang akan berpengaruh terhadap struktur dan fungsi dinding sel
serta membrane sel, bahkan metabolisme sel. Pemberian kalsium ke tanah lebih
efisien untuk meningkatkan kalsium dalam organ tanaman. Pemberian kalsium dalam
bentuk kalsium karbonat dalam penelitian ini bertujuan meningkatkan
ketersediaan kalsium di dalam tanah, selain itu juga secara tidak langsung
dapat menurunkan kemasaman tanah. Menurut Gardner (1985), dalam pertanian
modern, pemberian kapur dalam bentuk dolomit (CaCo3+MgO) sering digunakan pada
tanah dengan tujuan untuk meningkatkan pH tanah dan meyuplai Ca dan Mg sebagai
hara tanaman.
Tanah PMK
merupakan salah satu jenis tanah mineral masam (acid soil) yang merupakan potensi besar untuk perluasan dan
meningkatan produksi pertanian di Indonesia. Hampir semua tanaman dapat tumbuh
dan dikembangkan pada tanah ini. Pemanfaatan PMK untuk pengembangan tanaman
pangan umumnya terkendala oleh sifat-fifat kimia tanah. Kendala utama yang
dijumpai di dalam kaitannya dengan pengembangan PMK untuk lahan pertanian
terutama karena termasuk tanah yang mempunyai harkat keharaan rendah
(Prahastuti, 2005).
Program
pengembangan pertanian dan perkebunan oleh pemerintah diprioritaskan ke luar
pulau Jawa, terutama di lahan podsolik merah kuning (PMK) dan pasangsurut.
Menurut Mulyani dan Hidayat (1988) lahan PMK di Indonesia seluas 48,3 juta ha
yang tersebar di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan Irian Jaya. Di
Kalimantan Selatan luas lahan PMK yang belum dimanfaatkan untuk pertanian dan
perkebunan seluas 4 juta ha. Oleh karena itu lahan PMK perlu di berdayakan agar
menghasilkan produk yang menguntungkan (Budi Santoso, 2006).
Permasalahan yang
dihadapi pada lahan PMK adalah pH termasuk masam, tingkat ketersediaan
C-organik rendah sampai sedang, P sedang sampai tinggi, K, basa-basa, Ca, Mg,
Na, kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) semuanya rendah
(Santoso et al., 1993a). Kriteria kemasaman tanah dan kandungan Aldd dalam
tanah tinggi, sehingga pemberian P dalam jumlah yang cukup tidak direspon oleh
tanaman, karena banyak yang terfiksasi, akibatnya P tidak tersedia bagi tanaman
(Nursyamsi et al., 1995; Brady, 1990 ; Hairiah, 1994; Amin, 1992). Usaha di
bidang pertanian dan perkebunan di lahan yang demikian tidak akan menghasilkan
produksi yang optimal.
Ketersediaan hara
P dipengaruhi oleh pH tanah, jumlah Al dan Fe bebas dalam tanah. Manakala
kandungan Al dan Fe tinggi di dalam tanah maka menyebabkan P terikat menjadi
Al-P dan Fe-P yang sulit untuk dilepas, sehingga P tidak tersedia bagi tanaman.
Kation-kation Ca, Mg, K dan Na merupakan unsur hara makro yang diperlukan dalam
jumlah yang banyak oleh tanaman. Berdasarkan nilai kation yang diperoleh
dikategorikan sangat rendah sampai dengan rendah. Tanda dari kesuburan tanah
yang baik adalah mempunyai susunan kation Ca, Mg, K dan Na yang seimbang (Budi Santoso, 2006).
III.
METODE
PAKTIKUM
A.
Bahan
dan Alat
Bahan
yang digunakan pada praktikum adalah tanah podsolik merah kuning, kapur
pertanian, dolomit, NPK mutiara dan benih kangkung darat. Alat yang digunakan
adalah screen house, polybag, timbangan, ember, penggaris, timbangan elektrik,
dan alat tulis.
B.
Prosedur
Kerja
1. Tanah
podsolik merah kuning disiapkan dengan menimbangnya 5 kg/polybag sebanyak 20
polybag.
2. Kapur
pertanian (KP) dan dolomit (D) diberikan sesuai dengan perlakuan dosis (K = 0
g, KP1 = 2 g, KP2 = 4 g, D1 = 2 g, D2
= 4 g), kemudian dicampur hingga merata dengan tanah podsolik merah kuning yang
sudah disiapkan.
3. Setiap
polybag disiram sampai kapasitas lapang, kemudian benih tanaman kangkung
ditanam sebanyak 6 biji pada masing-masing polybag.
4. Perlakuan
dirancang secara RAKL dengan 4 ulangan.
5. Setiap
polybag dipupuk dengan NPK mutiara 10 hari setelah tanam dengan dosis 25
g/polybag.
6. Pemeliharaan
dilakukan dengan menyiram setiap polybag dan penjarangan dengan menyisakan 3
tanaman/polybag.
7. Pengendalian
OPT dilakukan secara insidentil saja.
8. Pengamatan
tinggi tanaman dilakukan setiap 2 hari sekali.
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
(Terlampir)
B.
Pembahasan
Kemasaman
tanah juga sangat menentukan proses penambatan nitrogen secara biologis, hal
ini terkait dengan ketersediaan Mo di dalam tanah. Mo merupakan komponen
meta-protein nitrogenase dan membantu proses penambatan nitrogen dan merupakan
komponen yang sangat esensial diperlukan untuk metabolisme N bakteria (Armiadi
2009).
Penyebab kemasaman tanah yang utama adalah curah hujan yang tinggi
yang menyebabkan basa-basa tercuci, mineral Al silikat membebaskan ion Al
sebagai penyumbang kemasaman melalui hidrolisis. Di samping itu pelapukan The
2nd University Research Coloquium 2015 ISSN 2407-9189 317 bahan organik, asam
sulfat dan nitrat dari pupuk atau bahan organik juga dapat menyebabkan
kemasaman tanah. (Nyakpa dkk, 1988). Penggunaan amelioran ditetapkan
berdasarkan tingkat kejenuhan Alumunium (Al) tanah dan kandungan bahan organik
tanah kejenuhan Al memiliki hubungan kuat dengan tingkat kemasaman tanah (pH)
(Marwoto, 2009).
Kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi dapat dinetralisir dengan
pengapuran. Pemberian kapur bertujuan untuk meningkatkan pH tanah dari sangat
masam atau masam ke pH agak netral atau netral, serta menurunkan kadar Al.
Untuk menaikkan kadar Ca dan Mg dapat diberikan dolomit, walaupun pemberian
kapur selain meningkatkan pH tanah juga dapat meningkatkan kadar Ca dan
kejenuhan basa. Terdapat hubungan yang sangat nyata antara takaran kapur dengan
Al dan kejenuhan Al. Dosis kapur disesuaikan dengan pH tanah, umumnya sekitar 3
ton/ha. Kapur yang baik adalah kapur magnesium atau dolomit yang dapat
sekaligus mensuplai Ca dan Mg (Anitasari et al., 2015).
Pengapuran
dapat mengatasi pengaruh buruk kemasaman tanah yang tinggi dan merupakan salah
satu cara yang sudah lama dikenal dan diterapkan. Dengan tindakan ini,
kemasaman tanah diturunkan sampai tingkat yang tidak membahayakan bagi
pertumbuhan tanaman. Pengapuran juga dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara
makro dan mikro yang diperlukan tanaman (Syukur dan Indrasari 2006).
Selanjutnya Raihan et al. (2004) menjelaskan bahwa pemberian kapur sebesar 750
kg.ha-1 pada tanah sulfat masam dengan pH 4,4 dapat meningkatkan pertumbuhan
dan produksi jagung terbaik pada pH 6 dengan produksi jagung mencapai 4,43
ton.ha-1
Dolomit merupakan golongan dari kapur karbonat, agar dapat
digunakan untuk pertanian batu kapur keras ini digiling terlebih dahulu hingga
kehalusan tertentu. Semakin halus ukuran butirannya semakin cepat reaksinya
dengan tanah, mutu kapur pertanian disarankan harus mengandung kalsit (CaCO3)
total besar atau sama dengan 85% atau CaO total sama besar atau sama dengan 48%
(Nyakpa dkk, 1988). Perlakuan kapur berpengaruh nyata terhadap semua komponen
yang diamati, setiap peningkatan dosis kapur sampai 3 ton/ha akan diikuti
dengan peningkatan bobot bintil, tinggi tanaman pada saat menjelang panen,
indeks luas daun, jumlah polong berisi, berat biji per tanaman, dan hasil biji
kering per hektar pada tanah podzolik merah kuning (Brotonegoro, 1992).
Salah satu faktor penghambat meningkatnya produksi tanaman adalah
masalah keasaman tanah. Tanah asam memberikan pengaruh yang buruk pada
pertumbuhan tanaman hingga hasil yang dicapai rendah. Untuk mengatasi keasaman
tanah perlu dilakukan usaha pemberian kapur kedalam tanah. Pengapuran dapat
merangsang terjadinya struktur tanah yang remah, merangsang kehidupan jasad
tanah, mempercepat pelapukan bahan organik menjadi humus, merangsang
perkembangan akar, hingga akar lebih mudah menyerap zat makanan dan dalam tanah
yang membuat tanaman tumbuh lebih sehat dan mampu memberikan hasil yang tinggi,
pada tanaman kedelai pengapuran mendorong pembentukan bintil akar untuk
mengikat nitrogen. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah kondisi awal pH
tanah, dosis pengapuran juga diatur dalam kegiatan ini sehingga didapatkan pH
tanah yang sesuai untuk pertumbuhan (Anitasari et al., 2015).
Pada
umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada klasifikasi lama
menurut Soepraptohardjo (1961), Ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik.
Merah Kuning (PMK). Warna tanah pada horizon argilik sangat bervariasi dengan
hue dari 10YR hingga 10R, nilai 3−6 dan kroma 4−8 (Subagyo et al. 1986). Warna
tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik yang menyebabkan
warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa
dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi seperti
goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga merah. Makin coklat
warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan makin merah warna tanah
makin tinggi kandungan hematit (Eswaran dan Sys, 1970).
Tekstur
tanah PMK bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya. Tanah PMK dari
granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya mempunyai tekstur yang kasar
seperti liat berpasir, sedangkan tanah PMK dari batu kapur, batuan andesit, dan
tufa cenderung mempunyai tekstur yang halus seperti liat dan liat halus. Tanah
PMK umumnya mempunyai struktur sedang hingga kuat, dengan bentuk gumpal bersudut
(Suharta dan Prasetyo 1986).
Tanah
PMK umumnya mempunyai nilai kejenuhan basa < 35%, karena batas ini merupakan
salah satu syarat untuk klasifikasi tanah PMK menurut Soil Taxonomy. Beberapa
jenis tanah PMK mempunyai kapasitas tukar kation < 16 cmol/kg liat, yaitu
PMK yang mempunyai horizon kandik. Reaksi tanah PMK pada umumnya masam hingga
sangat masam (pH 5−3,10), kecuali tanah PMK dari batu gamping yang mempunyai
reaksi netral hingga agak masam (pH 6,80−6,50). Kapasitas tukar kation pada tanah
PMK dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah masing-masing berkisar
antara 2,90−7,50 cmol/kg, 6,11−13,68 cmol/kg, dan 6,10−6,80 cmol/kg, sedangkan
yang dari bahan volkan andesitik dan batu gamping tergolong tinggi (>17
cmol/kg). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tanah PMK dari bahan
volkan, tufa berkapur, dan batu gamping mempunyai kapasitas tukar kation yang
tinggi (Prasetyo et al. 2000).
Nilai
kejenuhan Al yang tinggi terdapat pada tanah PMK dari bahan sedimen dan granit
(> 60%), dan nilai yang rendah pada tanah PMK dari bahan volkan andesitik
dan gamping (0%). PMK dari bahan tufa mempunyai kejenuhan Al yang rendah pada
lapisan atas (5−8%), tetapi tinggi pada lapisan bawah (37−78%). Kandungan hara
pada tanah PMK umumnya rendah karena pencucian basa berlangsung intensif,
sedangkan kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan
cepat dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah PMK yang mempunyai horizon kandik,
kesuburan alaminya hanya bergantung pada bahan organik di lapisan atas.
Dominasi kaolinit pada tanah ini tidak memberi kontribusi pada kapasitas tukar
kation tanah, sehingga kapasitas tukar kation hanya bergantung pada kandungan
bahan organik dan fraksi liat (Prasetyo et al. 2000).
Pengapuran adalah
pemberian kapur, bahan yang mengandung unsur Ca yang dapat meningkatkan pH
tanah. Secara umum pengapuran bertujuan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia
dan biologi dari tanah. Pengapuran menetralkan senyawa-senyawa beracun dan
menekan penyakit tanaman. Aminisasi, amonifikasi dan oksidasi belerang nyata
dipercepat oleh meningkatnya pH yang diakibatkan oleh pengapuran, dengan
meningkatnya pH tanah, maka akan menjadikan tersedianya unsur N, P dan S serta
unsur mikro bagi tanaman. Kapur yang banyak digunakan di Indonesia dalam bentuk
kalsit (CaCO3) dan dolomite (CaMg(CO3)2) (Subagyo et al. 2004).
Pengapuran
dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan dengan unsur lain. Pada
kebanyakan tanaman tingkat tinggi, penjagaan ph 6-7 menjamin ketersediaan hara.
Tingginya konsentrasi ion hidrogen yang terdapat dalam larutan tanah akan
menimbulkan reaksi tanah yang besifat masam, dengnan pengapuran konsentransi
ion hidrogen yang tinggi dapat diturunkan, sehingga derajat kemasaman tanahnya
dikehendaki oleh tanaman tertentu yang hendak ditanam. Dengan adanya pengapuran
pada tanah masam, absorbsi unsur-unsur Mo, P dan Mg akan meningkat pada dan
pada waktu yang bersamaan akan menurunkan secara nyata konsentrassi Fe, Al dan
Mn yang dalam keadaan masam unsur-unsur ini dapat mencapai konsentrasi yang
bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian, pengapuran tidak boleh dilakukan
secara sembarangan, karena kelebihan kapur pada tanah mengakibatkan tanaman
kerdil, Mn dan P menjadi tidak tersedia (Subagyo et al. 2004).
Manfaat kapur yang
diberikan kedalam tanah adalah:
1. Menurunkan
pH tanah.
2. Menurunkan
kelarutan Al.
3. Menngkatkan
kandungan unsur hara Ca dan Mg.
4. Memperbaiki
tekstur dan memantapkan agregat tanah.
5. Menurunkan
tingkat bahaya erosi karena agregat tanah yang mantap.
6. Memperbaiki
sifat biolgi tanah seperti aktivitas mikro organism (Subagyo et al. 2004).
Mekanisme reaksi dari bahan kapur pada komplek
tanah masam dapat dilukiskan sebagai berikut (Buckman and Brady, 1964).
Dari reaksi tersebut, bahwa begitu reaksi kekanan, kelihatan
pengaruh netralisasi ion H oleh kapur dan peningkatan jumlah kalsium yang dapat
dipertukarkan. Sehingga kejenuhan basa dan pH tanah meningkat.
Pengapuran
juga bertujuan untuk mengurangi resiko keracunan aluminium, dalam tanah masam
banyak ditemukan ion Al3+ yang bersifat masam, karena dengan air ion
tersebut dapat menghasilkan ion H+. Oleh karena itu ion H+ harus
dikeluatkan dari larutan tanah dengan ion Al3+ harus dinetralkan.
Jadi tujuan pengapuran adalah supaya koloid tanah menjadi netral, aluminium
dinonaktifkan dan hidrogen dioksidasi menjadi air (Suharta, N. dan B.H.
Prasetyo, 1986).
Kalsium
merupakan unsur hara makro yang dibutuhkan oleh tanaman. Kalsium termasuk salah
satu kation utama pada komplek pertukaran, sehingga biasa dihubungkan dengan
masalah kemasaman tanah dan pengapuran, karena merupakan kation yang paling
cocok untuk mengurangi kemasaman atau menaikan pH tanah (Hardjowigeno, 1992).
Kandungan kalsium di dalam tanah salah satunya berasal dari bahan kapur.
Pemberian kapur pada tanaman umumnya diberikan dalam bentuk dolomit dan kaptan.
Kaptan atau Kapur pertanian adalah kapur karbonat yang bahan penyusunnya berupa
batuan kapur tanpa proses pembakaran, tetapi langsung digiling. Kapur dolomit
berasal dari batu kapur dolimitik dengan rumus [CaMg (CO3)2]
(Buckman and Brady, 1964). Dolomit terbentuk dari hasil reaksi antara unsur Mg
dengan batu gamping (limestone). Pembentukan dolomit berlangsung dalam air laut
dan unsur Mg yang diperlukan berasal dari hasil disosiasi (penguraian) garam
MgCO3 yang terdapat dalam air laut. Sebagai mana diketahui bahwa air laut
mengandung berbagai jenis garam-garaman, antara lain MgCO3 dan CaCO3. Proses
pembentukannya berlangsung ratusan sampai ribuan tahun. Adapun perbedaan kedua
jenis kapur ini adalah Kandungan kalsium dalam dolomit adalah sekitar 30%,
sedangkan kaptan sekitar 90% (Novizan, 2001).
Pemberian
kapur dengan dosis yang tepat akan dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara
di dalam tanah masam. Hal ini disebabkan karena kapur yang digunakan dalam
penelitian adalah jenis dolomite yang mengandung unsur Ca (32,00%) dan Mg
(4,03%). Pemberian kapur ini dapat memperbaiki sifat fisik tanah yaitu
memperbaiki granulasi tanah sehingga aerasi lebih baik, sifat kimia tanah yaitu
menurunkan kepekatan ion H (meningkatkan pH), menurunkan kelarutan Fe, Al dan
Mn, meningkatkan ketersediaan Ca, Mg, P, N, K dan Mo serta meningkatan
kejenuhan basa, dan sifat biologi tanah yaitu meningkatkan kegiatan jasad renik
tanah (Nursanti dan Araz, 2014).
Peningkatan
pH dalam tanah yang diperoleh dari pemberian kapur disebabkan oleh kandungan
kapur CaCO3 dan MgCO3 terurai menjadi Ca2+, Mg2+ dan CO3 2- , selanjutnya CO3
2- (ion karbonat) bereaksi dengan air sehingga menghasilkan ion OHyang dapat
mengikat Al3+ dan dapat meningkatkan pH. Meningkatnya pH maka akan membantu
meningkatkan ketersediaan unsur hara N, P dan K di dalam tanah dan akan
mengurangi kadar Al yang tinggi pada tanah sulfat masam. Pertumbuhan tanaman
disebabkan peranan unsur N dan P serta K didalam jaringan tanaman. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Gardner et al. (1991), bahwa penyerapan unsur hara
makro terutama N, P dan K dari dalam tanah tersimpan pada vakuola tanaman yang
berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan jaringan maristematik. Dengan
meningkatnya jumlah unsur hara yang diserap tanaman maka akan mempercepat
pembelahan sel jaringan maristem secara terus-menerus dan menghasilkan sel baru
yang membentuk tubuh tanaman yang pada akhirnya menghasilkan cabang juga lebih
banyak.
Praktikum
pengapuran pada lahan marginal dilakukan dengan pemberian kapur pertanian dan
dolomit pada tanah podsolik merah kuning. Berdasarkan hasil analisis, pengaruh
pemberian beberapa jenis kapur menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata
sehingga disimpulkan bahwa setiap perlakuan menambah tinggi tanaman yang sama. Sedangkan
menurut penelitian Nurmas (2008), pada perlakuan kapur pertanian dan dolomit
dengan dosis 1-2,5 ton/ha dapat memacu pertumbuhan dan produksi mentimun lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol.
Pengapuran
dengan dosis yang berlebihan juga tidak dianjurkan karena akan berdampak pada
penurunan ketersediaan unsur hara makro maupun mikro di dalam tanah. Hal ini
sesuai dengan penjelasan Syukur dan Indrasari (2006) bahwa pengapuran pada tanah
masam dalam jumlah berlebihan dapat menekan unsur hara mikro secara berlebihan
dan menekan ketersediaan unsur P tanah untuk itu pemberian kapur cukup pada
penaikan pH sampai batas 6,5.
Maftu’ah dkk (2013) menerangkan bahwa serapan P akan terganggu pada
kondisi masam karena P tidak mobil. Kondisi masam juga menyebabkan pertumbuhan
dan fungsi akar terganggu. Penambahan dolomit pada penelitian ini diperlukan
karena dolomit mengandung kation basa yang dapat membantu dalam meningkatkan pH
tanah. Nurhayati (2013) menjelaskan bahwa kapur dolomit mengandung unsur Ca dan
Mg. Kedua jenis unsur dapat melepaskan ion OH yang berpengaruh terhadap
peningkatan pH tanah.
V.
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
praktikum dan hasil pengamatan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1.
Pengapuran dilakukan cara
mencampurkan kapur pertanian dan dolomit pada tanah yang telah diisikan ke
dalam polybag.
2.
Pengaruh pemberian
beberapa jenis kapur menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata sehingga
disimpulkan bahwa setiap perlakuan menambah tinggi tanaman yang sama.
B.
Saran
Praktikum harus
dikerjakan dengan teliti dalam pengamatan dan perhitungan agar didapatkan hasil
yang valid. Memperhatikan cara
pengapuran yang baik dari beberapa pengujian.
DAFTAR
PUSTAKA
Anitasari,
F. Rahayu Sawitri, & Agus Suprapto. 2015. Pengaruh Pupuk Organik dan
Dolomit pada Lahan Pantai terhadap pertumbuhan dan Hasil Kedelai. The Second
University Research Coloquium. Universitas Tidar.
Amin, I.
1992. Problem and prospects of peanut cultivation acid soils. International
Agriculture Riset Development. Journal 14 (2) : 23-32.
Armiadi.
2009. Pengaruh unsur hara molibdenum dan penambatan nitrogen. Wartazoa
9(3):23-30.
Brotonegoro,
S. 1992. Prosiding Lokakarya Penelitian Komoditas dan Studi Khusus Volume 4:
Palawija. Proyek Pembangunan Pertanian Terapan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta.
Buckman, H.O. and N.C. Brady. 1964. The
Nature and Properties of Soil. Macmillan Co. Mineapolis. Minessota. 567 p.
Eswaran, H. and C. Sys. 1970. An
evaluation of the free iron in tropical andesitic soil. Pedologie 20:
62−65.
Gardner
FP, Pearce RB , Mitchel RL. 1985. Physiology of Crop Plants. Iowa State
University Press. 327 p
Gardner
FPR, B Pearce, RL Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta:
Universitas Indonesia
Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah.
PT. Mediatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Marwoto.
2009. Pedoman Umum PTT Kedelai. Departemen Pertanian. Jakarta.
Mulyani,
A. dan Hidayat. 1988. Podsolik Merah Kuning. Pusat Penelitian Tanah. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hal:1-8.
Munir, M.
1996. Tanah-Tanah Utama di Indonesia.
Pustaka Jaya. Jakarta.
Naradisorn
M. 2013. Effect of calcium nutrition on fruit quality and postharvest diseases.
International Journal of Science Innovations and Discoveries 3(1):8-13.
Novizan, 2001. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agromedia. Jakarta.
Nurmas, A. 2008. “Pengaruh Kapur Pertanian dan Dolomit terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Mentimun pada Tanah PMK”. Warta-Wiptek. Vol. 16, No. 2 : 79-82.
Nursanti, I. & Araz Meilin, 2014. Respon Bibit
Kakao Terhadap Pemberian Pupuk Organik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit dan
Dolomit pada Tanah Sulfat Masam. J. Lahan
Suboptimal Vol. 3 (2):109-116
Nursyamsi,
D., O. Soepandi, D. Erfandi, Sholeh dan I.P.G. Widjaja. 1995. Penggunaan bahan
organik, pupuk P dan K untuk peningkatan produktivitas tanah Podsolik. Hasil
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Risalah Seminar. 2: 47-52.
Nyakpa,
Y. Lubis, A. M. Pulung, M. A. Amrah, G. Munawar, A. Ban, H.G. dan Hakim, N.
1988. Kesuburan Tanah. Penerbit Universitas Lampung. Lampung.
Prasetyo, B.H., H. Sosiawan, and S. Ritung. 2000. “Soil of Pametikarata, East Sumba: Its suitability and constraints
for food crop development. Indon. J.
gric. Sci. 1(1): 1− 9.
Raihan S,
Arifin M Z, Nazemi D. 2004. Tanggap tanaman jagung terhadap pemberian pupuk NPK
dan kapur tanah sulfat masam dari Kalteng. Prosiding Seminar Nasional PLTT dan
Hasil-Hasil Penelitain Pengkajian Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Jambi
2004.
Santoso,
B., A. Satrosupadi dan Djumali. 1993a. Effect of the rates of N,P,K fertilizer,
lime and blotong on yield of kenaf in South Kalimantan. Industrial Crop
Research, Journal 5(2):9-12.
Santoso, Budi. 2006. Pemberdayaan Lahan Podsolik Merah Kuning Tanaman
Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) di Kalimantan Selatan. Perspektif Vol.
5 (1): 01-12.
Sri
Adiningsih, J. dan Mulyadi. 1993. Alternatif
teknik rehabilitasi dan pemanfaatan lahan alang-alang. hlm. 29−50. Dalam S.
Sukmana, Suwardjo, J. Sri Adiningsih, H. Subagjo, H. Suhardjo, Y.
Prawirasumantri (Ed.). Pemanfaatan lahan
alang-alang untuk usaha tani berkelanjutan. Prosiding Seminar Lahan Alang-alang,
Bogor, Desember 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang
Pertanian.
Subagyo,
H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah
pertanian di Indonesia. hlm. 21−66. Dalam A. Adimihardja, L.I. Amien, F.
Agus, D. Djaenudin (Ed.). Sumberdaya
Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah
dan Agroklimat, Bogor.
Subagyo,
H., P. Sudewo, dan B.H. Prasetyo. 1986. Pedogenesis
beberapa profil Mediteran Merah dari batu kapur di sekitar Tuban, Jawa Timur.
hlm. 103−122. Dalam U. Kurnia, J. Dai, N. Suharta, I.P.G. Widjaya-Adhi, J. Sri
Adiningsih, S. Sukmana, J. Prawirasumantri (Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Cipayung, 10−13
November. 1981. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Suharta,
N. dan B.H. Prasetyo. 1986. Karakterisasi
tanah-tanah berkembang dari batuan granit di Kalimantan Barat. Pemberitaan
Penelitian Tanah dan Pupuk 6: 51−60.
Sutedjo,
M. M. 2008. Pupuk dan Cara Pemupukan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Syukur A,
Indrasari A. 2006. Pengaruh pemberian pupuk kandang dan unsur hara mikro
terhadap pertumbuhan jagung pada ultisol yang dikapur. Jurnal Ilmu Tanah dan
Lingkungan 6(2): 116-123.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar